ANTARA TELEVISI DAN GAYA HIDUP
Oleh : Teguh Imanto
Abstrak
Televisi sebagai salah satu media massa yang bersifat elektronis
dengan segala kecanggihannya, dapat menghadirkan beragam kejadian di
belahan bumi manapun dalam hitungan detik dapat meyampaikan gambar yang
menarik beserta audionya lewat layar kaca, tepat di hadapan kita dikala
sedang duduk menikmati acara dengan santainya. Televisi dinilai oleh
masyarakat sebagai kotak ajaib yang dapat mempengaruhi sugesti
masyarakat, hal itu dikarenakan selain memberikan informasi secara
aktual dan faktual, televisi juga menyajikan acara yang sifatnya
menghibur. Televisi sebagai suatu perusahaan industri budaya dan
menganut sistem kapitalisme, oleh karena itu dalam pengoperasiannya,
televisi berusaha mempengaruhi pemirsa dengan menanamkan ideologinya ke
benak para pemirsa melalui beragam tayangan yang sudah dikonstruksi
sedemikian rupa hingga pemirsa tidak dapat berkutik dan bertekuk lutut
pada acara-acara yang sengaja diciptakan dengan “segala cara” demi
mendatangkan rating tingggi. Rating tinggi inilah, nantinya bisa
mendatangkan iklan sebanyak-banyaknya sebagai penopang finansial
terhadap kelangsungan hidupkelancaran penyiarannya. Televisi pula yang
dituduh sebagai biang kerok atas retaknya budaya luhur negeri ini dalam
taraf yang sangat memprihatinkan, lewat tayangan hasil budaya impor yang
telah dikontrusinya dengan menawarkan budaya baru hasil biasan dari
budaya barat dengan keglamoran hidup dalam masyarakat kapitalis.
Hegemoni budaya yang tercermin dalam realitas kehidupan dengan
praktik-praktiknya kini telah mengambil alih budaya luhur dan norma
kesantunan yang sudah mapan warisan dari nenek moyang menjadi budaya
baru sebgai cerminan realitas palsuyang berkembang dampak dari tayangan
televisi yang ada.
Kata Kunci : Televisi, Program Acara, Ideologi, Hegemoni, Diskursus dan Gaya Hidup
Pendahuluan
Ketika abad Millenium ketiga di canangkan, saat itulah puncak
perkembangan teknologi hasil olah pemikiran manusia, telah mewarnai
perubahan peradaban di dunia menjadi semakain menarik dan berfariatif.
Kejadian ini telah ada dalam bayangan dan pemikiran dari Marshal Mac
Luhan, tentang Konsep “Global Village” bahwa
dunia akan berubah menjadi dunia modern dengan peralatan berteknologi
serba canggih, dan secara tidak langsung juga akan berdampak pada
peradaban dunia dan isinya, kini telah menjadi kenyataan. Awalnya bahwa
dunia sangat luas dan untuk berkomunikasi tentunya diperlukan waktu yang
panjang dan berliku-liku dalam proses operasionalnya. Namu hal itu
semua bisa terjadi dan seolah-olah dunia menjadi satu genggaman tangan,
dengan daya jangkau “tanpa batas”. Pandangan
ini didasarkan pada kenyataan bahwa peralatan teknologi dengan berbagai
kecanggihannya yang terlahir, akan membawa arus informasi dunia dan
komunikasi antar negara telah menyebar melalui jaringan informasi yang
terhubung dengan negara satu dan negara lainnya secara on line, hingga
arus tersebut sulit dibendung lagi penyebarannya.
Penggunaan teknologi satelit pada peralatan
komunikasi internasional di mana dalam pengoperasionalisasinya bekerja
melalui gelombang elektromanetik yang terpancar luas melalui udara dan
kini telah merambah hampir ke semua negara mengalir dalam relung-relung
udara dan menembus dinding pada setiap rumah dimanapun rumah itu berada,
untuk menyampaikan informasi terkini baik secara audio maupun audio
visual. Dampak yang terlahir adalah mudahnya cara berkomunikasi antar
manusia secara global hingga seolah-olah dunia terasa lebih dekat.
Mudahnya cara berkomunikasi ini tentunya tak terlepas dari meningkatnya
perangkat teknologi dunia komunikasi hingga berbagai macam informasi
yang membawa rekaman peristiwa dibelahan dunia manapun dengan mudah
dapat dinikmati dalam waktu hitungan detik sudah nampak didepan mata.
Televisi sebagai salah satu media massa yang bersifat elektronis
dengan segala kecanggihan teknologinya dapat menghadirkan segala
kejadian di belahan bumi manapun dalam hitungan detik dalam bentuk
gambar dengan berbagai macam karakter gembira, sedih, mencekam, terharu,
menakutkan, mengerikan serta karakter lainnya yang menarik beserta
audionya lewat layar kaca, tepat di hadapan kita dikala sedang duduk
menikmati acara televisi dengan santainya. Televisi sebagai media massa
tercepat dalam penympaian informasi, ternyata mendapatkan dampak yang
paling besar dari perkembangan teknologinya. Keberadaan televisi telah
mendapatkan tempat di hati masyarakat sebagai salah satu media yang
memberikan informasi dan sekaligus sebagai sarana hiburan termurah dan
menarik yang mampu menyedot jutaan permirsa daripada media sebelumnya.
Kalau diukur dalam hitungan detik sekalipun, televisilah yang paling
mendapat peringkat tertinggi dalam menjangkau audiens, hingga televisi
dianggap sebagai salah satu media komunikasi elektronik yang paling
digemari masyarakat dewasa ini. Kecintaan masyarakat terhadap televisi
telah menyebar luas mulai dari perkotaan hingga ke pelosok desa, dan
hampir semua penduduk telah memiliki televisi, padahal awal
diproduksinya perangkat komunikasi ini merupakan barang yang sangat
langka dan hanya dapat dimiliki oleh kalangan-kalangan tertentu saja.
Saat ini televisi telah menjangkau lebih dari sembilan puluh persen
penduduk di negara-negara berkembang. Televisi yang dahulu mungkin hanya
menjadi konsumsi kalangan dari umur tertentu, namun saat ini sebuah
kotak ajaib dengan beragam acara didalamnya itu, dapat dinikmati dan
sangat mudah dijangkau oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa ada
batasan usia. Siaran-siaran televisi yang bermuatan berbagai macam
program acara, akan selalu memanjakan semua orang pada saat-saat luang
seperti saat liburan atau saat sehabis bekerja, bahkan dalam suasana
bekerjapun terkadang orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton
program televisi. Karena televisi dinilai selain memberikan informasi
secara aktual dan faktual, televisi juga menyajikan acara yang sifatnya
menghibur.
Tujuan diproduksinya sebuah program acara televisi, selain sebagai materi acara dalam melangsungkan terselenggaranya siaran televisi, di mana keberadaanya merupakan sebuah media ruang publik yang berfungsi menyebarkan informasi secara aktual dan faktual kepada masyarakat, tetapi juga memberikan sarana hiburan yang murah meriah pada masyarakat. Secara umum, program acara televisi dibagi menjadi tiga jenis yakni program acara fiksi, program acara non fiksi dan program acara berita. Dari ketiga jenis program acara tersebut, masing-masing jenis mempunyai bentuk atau format sendiri-sendiri beserta karakteristiknya. Misalkan Produk dari program acara fiksi sendiri antara lain terdiri dari film serial, film televisi (FTV), film pendidikan, film dokumenter, drama televisi, dan sejenisnya. Untuk program acara non fiksi sendiri menggarap variety show, kuis, talkshow, reality show, musik, lawak, dan sejenisnya. Sedangkan untuk program acara berita terdiri dari paket berita, dialog, diskusi, investigasi, feature dan sejeisnya.
Suguhan yang diberikan oleh industri televisi dengan berbagai macam
program acara telah membuat orang merasa terhibur dan mau untuk
meluangkan waktunya untuk duduk didepan televisi menikmati beragam
tayangan sambil minum kopi disertai dengan hisapan cigaret kretek,
setelah bergelut dengan rutinitas seharian. Berbagai macam program acara
terlahir dari beberapa stasiun televisi yang saling bersaing dalam
merebut hati pemirsanya, lihatlah Trans TV dengan program pemutaran
film-film produksi holywood serta program fariaty show termehek-mehek,
Tran-7 dengan program acara bukan empat mata yang dibawakan secara kocak
oleh presenter Tukul, SCTV dengan FTVnya yang melantunkan gelora asmara
anak muda dalam biasan cerita film televisi serta konser musik secara
live lewat acara IN BOX, RCTI tak mau kalah dengan program sinetron
berseri yang mengumbar cucuran air mata wanita dan perburuan harta
warisan orang tua serta pentas ala meniru televisi Amerika yang
digandrungi oleh anak muda ingin mau cepat tenar dengan cara instans
lewat program acara Indonesia Idol. Indosiarpun menandinginya dengan
mengeluarkan AFI (Akademi Fantasi Indonesia) serta sinetron legenda yang
dikonstruksikan dalam era modern seperti cerita ken arok yang dalam
visualisasinya memakai handphone dan bermobil mercydes, TPI mencari
peluang dengan menampilkan cerita legenda rakyat yang berbasis pada
remaja dan anak-anak serta pentas pencarian berbakat pada musik dangdut.
Dalam program acara pemberitaan TV One dengan segala macam kreasi yang
mengulas tentang perkembangan perpolitikan di tanah air demkian juga
dengan Metro TV dengan segudang program acara yang berbasis pada
penalaran ingin mengajak pemirsanya untuk mengkritisi tentang segala
macam permasalah menyangkut tentang pemerintahan di negeri ini.
Namun dibalik itu semua dengan dan tanpa disadari televisi telah
memberikan banyak pengaruh, merubah pola hidup baik yang positif dan
negatif dalam kehidupan manusia, siapapun sasarannya entah anak-anak
ataupun orang dewasa. “Berbagai macam realitas sosial tersebut telah
menimbulkan sejumlah pandangan optimistik dan pesimistik di kalangan
para ahli media dalam menanggapi tentang pengaruh media di dalam
masyarakat“ (Ahmad Zainal Abar, 1997). Pandangan ini melahirkan asumsi
bahwa pengaruh tayangan yang dilancarkan oleh media televisi akan
mempunyai dampak sisi negatif dan sisi positif. Dalam menjalani suatu
kehidupan, memang tak terlepas dari sisi negatif dan positif, karena
pada dasarnya itu suatu kodrat dalam suatu kehidupan, namun sebagai
manusia yang beradab tentunya kita harus bisa meminimalisir dari sisi
negatifnya.
Dampak tayangan dari televisi kini sudah mulai nampak di hadapan
kita, betapa tidak kalau kita amati mutu program dari beberapa stasiun
televisi, belakangan ini konsep program acara yang dibuat kurang
mendidik, sehingga menimbulkan pengaruh yang cukup besar terutama pada
kalangan remaja dan anak-anak. Suatu fakta yang terjadi dewasa ini
banyak perubahan pola hidup konsumtif, glamour di lingkungan remaja baik
perkotaan maupun pedesaan dan kesemuanya itu hasil dari peniruan dari
artis yang menjadi idolanya. Perilaku para artis tidak jarang sebagai
pemicu tentang pola hidup yang ditampilkan “mbak tolong dipotong gaya
rambutnya Krisdayanti” kata remaja yang mau memotong rambutnya kepada
karyawan di suatu salaon. Demikian juga pada penjahit gaun wanita sering
kebanjiran order tentang model-model yang dipakai oleh para artis.
Begitu dasyatnya pengaruh media televisi terhadap gaya hidup manusia,
sampai-sampai para orang tua tidak mampu untuk meredamnya, bahkan tak
jarang juga orang tuapun keblinger ikut-ikutan bergaya di hadapan
anak-anak mereka. Dari beberapa fakta tersebut, banyak kalangan yang
mengkhawatirkan akan perkembangan mutu acara program televisi yang tidak
memperhatikan rambu-rambu “kode etik penyiaran” sehingga hasil
tayangannya akan berdampak negatif bagi kalangan pemirsa.
Beragam tangan televise yang beredar sangat mempengaruhi sikap hidup
dalam masyarakat, terutama yang kurang mendidik akan mempengaruhi
psikologi seseorang kearah negative.
Sampai sekarang mengapa masyarakat masih mencintai televisi sebagai
sarana untuk mendapatkan suatu informasi dan hiburan ?, hal itu
disebabkan karena untuk menikmati acara televisi masyarakat tidak
dipungut dengan biaya alias gratis. Lalu bagaimana industri media
televisi tetap bisa bertahan hidup dalam melangsungkan penyelenggaraan
siarannya?, Jawabannya adalah televisi berusaha menciptakan acara-acara
yang menarik perhatian dan bisa mempengaruhi pemirsa hingga para pemirsa
bisa terbuai dan gandrung atau terbius ketagihan dengan acara tersebut.
Karena kegandrungan dari masyarakat tersebutlah, menimbulkan rating
yang tinggi hingga akhirnya nanti industri televisi menghasilkan iklan
sebanyak-banyaknya. Dari iklan inilah televisi itu bisa melangsungkan
kehidupannya dalam menyelenggarakan siaran dengan baik, tanpa harus
minta bayaran para pemirsa yang telah menikmati produk industrinya.
Untuk itulah maka perusahaan media khususnya televisi berusaha
mempengaruhi pemirsa dengan menanamkan ideologinya ke benak para pemirsa
melalui tayangan televisi hinggapemirsa tidak dapat berkutik dan
bertekuk lutut pada acara-acara yang sengaja diciptakan dengan “segala
cara” demi mendatangkan rating tingggi.
Industri media mempunyai “kekuasaan global”,
kepemilikan isi dari suatu penyiaran media melintas antar negara. Media
dengan kekuasaannya dapat saja mengambil suatu peristiwa dari beberapa
negara lain untuk disiarkan melalui satelit dan dipancar luaskan
menembus dinding kaca lalu bertengger pada layar kaca di hadapa para
pemirsa. Suatu contoh ketika terjadi perang teluk yang dilakukan oleh
Amerika Serikat dan para sekutunya menyerang Irak dan menumbangkan
presiden Sadam Husein, Metro TV dengan kekuasaan medianya dapat
menghadirkan siaran tersebut secara langsung tentang serangan rudal yang
dilancarkan oleh tenatara Amerika serikat dan sekutunya ke arah Irak.
Hal ini bisa terjadi karena adanya kerjasama antar media, seperti yang
dilakukan oleh Metro TV berkerjasama dengan televisi Aljazair, hingga
peristiwa mencekam itu bisa hadir di depan layar kaca masyarakat
Indonesia, dan bahkan negara lainnyapun bisa menikmatinya lewat antena
barabola, suatu peralatan canggih milik industri media.
Industri Media juga menciptakan “Interpendensi Media dengan Pemerintah”
selaku penguasa negara. Ekspansi saluran-saluran media yang tersebar di
berbagai daerah memerlukan campur tangan dari pemerintah selaku
pemegang ijin penerbitan. Hal ini harus dilakukan kompromi dari kedua
belah pihak yang saling menguntungkan. Bagi pemerintah ekspansi media ke
berbagai daerah sangat membantu untuk berkomunikasi dengan perangkat
pemerintahannya serta masyarakat luas menyebarkan hasil-hasil
pembangunan. Coba kita tengok masa lalu ketika presiden soeharto
melakukan temu wicara dengan masyarakat dalam acara kelompencapir serta
obrolan harmoko dalam jumpa pers di setiap minggu untuk menyebarluaskan
hasil-hasil sidang terbatas kabinet. Dari kasus ini pemerintah selaku
pemegang kuasa tertinggi sangat diuntungkan, dan bukankah para presiden
berikutnya hingga sampai sekarang juga melakukan hal yang sama ?. Bagi
Industri media merupakan lahan yang subur untuk menanamkan acara-acara
yang bisa menarik massa sebanyak-banyaknya hingga nantinya bisa
mendatangkan iklan sebanyak mungkin. Lihatlah acara televisi berupa
sinetron dengan beraragam serial yang ditayangkan hampir pada jam-jam
sibuk (primer time) dan hal tersebut sampai digandrungi oleh remaja dan
para ibu-ibu dengan setianya menanti di hadapan televisi menikmati suatu
realita semu hasil penenaman ideologi media itu. Lain lagi ceritanya
bagi industri media tentunya akan mendatangkan omset yang tinggi hasil
pemberian kompensasi para pemasang iklan lewat sisipan iklan dari produk
acaranya. Inilah yang dikatakan oleh Jean Seaton tentang Determinisme “bahwa kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan kelas yang berkuasa”.
Dalam implementasi penyiarannya industri media telah menciptakan “Sistem Pemasaran Baru”,
Para perusahaan dengan berbagai macam keragaman produk ingin
meningkatkan omset penjualannya, oleh karena itu perlu adanya kerjasama
dengan perusahaan media guna mengiklankan produknya dengan maksud supaya
dikenal oleh masyarakat luas melalui tayangan televisi. Tentu saja
dalam mengiklankan produknya perlu adanya penyeleksian pemakaian media
mana saja yang mempunyai target audience terbanyak atau dengan kata lain
televisi yang paling banyak ditonton oleh para pemirsa, agar apa yang
telah diiklankan tidak terbuang sia-sia, karena tujuan dari pengiklanan
suatu produk denga harapan dapat dilihat oleh masyarakat banyak.
Berangkat dari sinilah para perusahaan media televisi berusaha para
pemasang iklan dengan membuat tayangan semenarik mungkin, hingga para
pemirsa cinta dengan televisi yang menjadi kebanggaannya dengan
menyajikan berbagai macam format program acara sesuai dengan kesukaan
hatinya. Untuk menjamu para pemirsa setia dari chenelnya, maka di
sinilah industri media pasang strategi untuk membuat acara diantaranya
pemakaian para artis yang cantik atau ganteng sebagai daya tarik pemirsa
hingga nantinya menjadi idolanya, bisa juga sebaliknya dengan memakai
orang-orang yang unik dan nyentrik untuk menciptakan kesan humor atau
ngelawak dalam melangsungkan penyiarannya. Perangkap cerita yang lagi
ngetrend mengumbar permusuhan, perselingkuhan, persekongkolan, rebutan
warisan, warna-warni cinta anatar kegembiraan dan kekecewaan disertai
dengan suasana didominasi keglamoran hidup yang telah dikonstruksi
sedemikian rupa itu, dan dilancarkan secara terus-menerus dalam setiap
serial komoditas, hingga tanpa disadari akan membuat pasar tersendiri
bagi industri media di mana nantinya pemirsa begitu tergila-gilanya
mengikuti apa yang disuguhkan oleh industri media secara gratis sehingga
membuat para pemirsa terbuai dan tak ingat akan waktu yang menjadi
kewajibannya. Hal inilah yang dikemukakan oleh Kaum Marxis
“… nilai-nilai yang menguntungkan orang-orang yang menjalankan
masyarakat, tentang ide-ide yang berkuasa sepanjang masa merupakan hasil
dari ide orang yang berkuasa…”. (John Storey, 2003)
Industri media telah menciptakan kelompok-kelompok berdasarkan kelas.
Berbagai macam gaya hidup telah dikonstruksi sedemikian rupa melalui
berbagai macam format acara hingga menimbulkan suatu kebohongan publik
dan tanpa sadar telah menjadi bagian hidup oleh kelompok kelas-kelas
tertentu. Suatu penanaman konsep ideologi ke benak pemirsa tentang suatu
realitas sosial yang telah dikonstruksi dari berbagai macam disiplin
ilmu hingga suatu gaya hidup baru hasil kontuksi oleh kelompok-kelompok
dominan yang menjelaskan siapa yang berkuasa adan siapa yang tidak
berkuasa. Konsep yang diciptakan untuk menunjukkan bagaimana teks-teks
serta makna-makna yang ada di dalamnya serta praktek-praktek budaya
budaya tertentu menghasilkan suatu realitas baru yang sudah didistorsi
atau sudah diselewengkan dari makna yang seberanya, inilah yang sering
disebut dengan istilah “kesadaran palsu”. Pendistorsian makna itu memang
disengaja dengan tujuan dapat memperlancar penyebaran kesadaran palsu
tersebut demi tercapainya kepentingan kelas-kelas yang berkuasa atau
kelas dominan selaku pemegang kuasa dalam menekan pihak-pihak yang lemah
atau kelas bawah.
Industri media dalam mengembangkan usahanya, mereka ciptakan “Group Corporate’.
Pengembangan ini didasari dengan penguasaan media yang lebih besar
dalam berbagai bentuk yang sejenis. Dengan penguasaan berbagai media
dalam satu naungan kekuasaan, misalnya media cetak, misalnya koran,
majalah, taboit. Media Display misalnya Billboard, Pameran yang
dikelolah oleh Advertising. Demikian juga dengan media audio dengan
bentuk radio serta media audio visual adalam bentuk televisi, jika semua
media itu dikuasai dalam satu group persahaan, maka semakin kuat
posisinya dalam mengendalikan kepentingannya. “… Perusahaan-perusahaan
itu media baru memiliki pola yang saling berkaitan dalam kepemilikan
dalam berbagai macam bentuk media, hal ini berarti mereka menghasilkan
uangnya dan memiliki pengaruhnya melalui beberapa macam media” (Graeme
Burton, 1999). Suatu contoh Media Group milik dari si brewok yang kalah
bertarung dalam perebutan kursi ketua umum partai berlambang pohon
beringin itu dan kini mendirikan organisasi sosial nasiomal demokrat,
awalnya adalah bergerak dalam surat kabar atau koran Media Indonesia dan
kini mendirikan televisi dengan nama Metro TV yang memakai lambang
burung elang itu. RCTI juga mengembangkan koran atau tabloid Seputar
Indonesia dan mengalang kekuatan group televisi mengandeng Global TV dan
MNC TV dengan pengendalinya Media Nusantara Citra. Elshinta yang
dulunya Radio juga ikut-ikutan mendirikan televisi serta yang lainnya.
Penggambungan ini didasarkan dengan pengendalian perputaran uang serta
efisiensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara subsidi silang
dalam lingkungan group perusahaan.
Industri Media juga menciptakan “Beragam Genre”
dalam produk medianya. Penciptaan format atau bentuk acara-acara
program televisi seperti program berita, program non fiksi dan program
fiksi adalah kategori-kategori produk media televisi yang masing-masing
mempunyai karakter sendiri-sendiri. Pengkategorian ini juga bertujuan
untuk mempermuda pemasaran serta muda dalam pengembangan jenis-jenis
program acara yang ada di dalamnya. Misalkan suatu contoh untuk kategori
non fiksi didalamnya terdapat program acara kuiz, variaty show, reality show, talk show dan music concert.
Kesemua program acara yang telah di uraikan di atas dalam
implementasinya mempunyai karakter tersendiri yang telah dikonstruksi
sedemikian rupa hingga siap mempengaruhi pikiran pemirsa dimana pada
akhirnya nanti, pemirsa merasa ketagihan di buatnya. Lihatlah acara
“MAMAMIA” dalam suatu keluarga Ibu, Bapak, anak, Kakak, adik serta para
nenek-nenek dan kakek-kakek tergila-gila dibuatnya dalam suatu
pementasan yang disiarkan secara langsung oleh salah satu televisi itu.
Demikian juga acara infotainment dengan segudang kebohongan palsu telah
mencuci pikiran pemirsa tentang suatu realita palsu yang dilancarkan
secara gencar dari pagi, siang, sore dan malam hari. Inilah bukti bahwa
begitu dahsyatnya pengaruh Ideologi yang ditanamkan oleh industri media
dalam benak para memirsa, hingga pemirsa bertekuk lutut padanya,
walaupun dalam kenyataannya adalah suatu penjungkir balikan fakta yang
sebenarnya.
Penanaman Ideologi Media televisi dengan segala bentuk yang
ditampilkan akan berdampak pada persepsi seseorang melihat esistensinya
dalam masyarakat sebagai alat penyebar peradaban.
2. Hegemoni Media Dalam Budaya Masyarakat Kapitalis
Hegemoni dapat diartikan suatu cara penerapan
praktek-praktek kekuasaan ideologi yang tak terlihat atau tersembunyi
dan tak disadari dalam lingkungan masyarakat. Hegemoni juga bisa
diterjemahkan sebagai suatu proses-proses segala macam ide yang telah
terkonstrksi milik satu kelompok kelas dominan atau kelas berkuasa yang
ada dan dapat mempengaruhi dalam lingkungan masyarakat. Media televisi
dengan kekuasaan di dalamnya yang notabene merupakan representatif dari
masyarakat modern, muncul sebagai suatu fenomena perubahan realitas
sosial masyarakat yang banyak dikonstuksi dan didominasi oleh ide-ide
materi Karl Mark. Sepertinya “ide-ide itu dituangkan dalam
instrumen-instrumen kapitalis sehingga akhirnya perilaku masyarakat
menjadi bagian dari masyarakat kapitalis yang konsumtif serta dari
sistem produksi itu sendiri” (Burhan Bungin, 2001 : 25).
Media massa khususnya televisi telah menjadi alat
yang ampuh bagai mantra-mantra penarik untuk mempengaruhi alam pikiran
serta pandangan masyarakat. Lewat media televisi dengan segala macam isi
acaranya, “gaya hidup” masyarakatpun dapat tercipta dengan sendirinya
dan menerjang siapa saja yang ada didepannnya enta anak-anak, remaja
maupun orang tua. Lihatlah ketika film serial heroik ala Amerika seperti
Film Batman diprodiksi, maka segala macam pernik-pernik asesoris
seperti mainan, bentuk patung digandrungi olah anak-anak demikian juga
kaos gambar logo Batman berada dalam dada anak-anak, remaja maupun orang
tua beredar di jalan-jalan dan mall serta tempat lainnya. Kendaraan
yang penjadi tumpangannya anak muda tak luput dari modifikasi gambar
yang berlogo kalelawar itu. Kekuatan ideologi yang ditanamkan oleh media
dan telah mewabah menghegemoni masyarakat dapat menciptakan
peluang pasar industri tersendiri dari kelompok-kelompok yang berkuasa.
Potongan dan pakaian ala artis yang menjadi idolanya telah menempel kaum
remaaja perkotaan dan bahkan sudah mengepedemi sampai ke pedesaan.
“Lewat media massa televisi pula menyangjung seseorang menjadi populer
dan melambung namanya sebagai public figure di kalangan
masyarakat bahkan bisa menjadi idola dan dipuja esistensinya oleh
seseorang, namun media pula yang sanggup menumbangkan nama seseorang
hingga hancur berantakan kehidupannya” (AB. Susanto,2001). Hal ini dapat
diamati pada artis Luna maya yang namanya meroket hasil ekspose dari
media. Hampir tiap minggu figurnya selalu masuk dalam layar kaca dari
beberapa stasiun televisi dan media pula yang menumbangkanya ke dalam
lumpur hingga tenggelam nama besarnya, dikarenakan kasus yang menimpa
dirinya.
Gaya hidup metropolis hasil dari rekonstruksi media
telah merubah peradaban masyarakat perkotaaan menjdi gemerlap. Para
remaja dengan dandanannya yang serba glamor dan terkadang menor serta
tempat tongkrongan yang serba wah, seperti mall, cafe, diskotik,
restorant hotel telah merubah image mereka menjadi kelas
tersendiri. Para profesional entah apa jabatannya juga banyak
terpengaruh oleh gaya hidup yang dilancarkan oleh media lewat tayangan
program acara di televisi. Gaya hidup yang di terapkan oleh para
profesional itu selain menyesuaikan tuntutan Life Style dalam
masyarakat modern dikarenakan adanya suatu konsekuensi yang diambil
berkat pengaruh lingkungan kerja serta tempat tinggalnya yang telah
tercipta dengan sistem pengkelasan status sosial. Selain itu juga
sebagai antisipasi jika nantinya media mengekspose mereka karena
tuntutan lingkungan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya
mengharuskan demikian. Lihatlah kehidupan Agung Laksono, Aburizal
Bakrei, Surya Paloh serta tokoh politik lainya, demikian juga dengan
para artis seperti Siren Sungkar, Uut permatasari, Suleh, Ivan Gunawan
serta sederetan nama-nama lainnya. Kalangan yang telah disebutkan di
atas, merupakan pemegang kelas-kelas dominan, dimana di dalam
kehidupannya selalui tak luput dari sorotan media, tentunya gaya hidup
yang mereka terapkan sangat berbeda dengan saimin, parjo dan Paitun yang
ada di lereng gunung dimana dalam penampilannya hanya berselimutkan
kain sarung sebagai jelmaan kelas pekerja yang tertekan dalam suatu
permainan masyarakat kapitalis. Suatu kelas sosial yang unggul melalui
kepemimpinan intelektual serta moral sebagai pemegang kuasa akan terus
menerus menekan kelas pekerja yang ada dibawahnya, inilah yang dikatakan
oleh Gramsci tentang hegemoni dalam masyarakat kapitalis.
Dampak tayangan televisi akan membentuk gaya hidup
masyarakat kapitalis yang mengusung budaya baru dalam membentuk perilaku
kea rah kecenderungan bersikap konsumtif,
3. Gombalan Diskursus Beragam Kepentingan
Apa yang diungkapkan oleh kaum
Aliram Marxixsme Frankfurt tentang “kesadaran palsu” berdasar pada
Penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna
yang ada didalamnya serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat
dibentuk oleh kekuasaan media. Tanpa sadar apa yang kita ketahui
tentang suatu kebenaran adalah suatu angan-angan dan pandangan-pandangan
yang semu dan tersembunyi dalam realitas sosial masyarakat. Terdapat
“tiga istilah kunci yang membantu menjelaskan kekuasaan tersembunyi
tersebut diantaranya media, masyarakat dan budaya. Ketiganya itu
dikembangkan melalui analisis marxix tentang kekuasaan dan tentang
hubungan-hubungan sosial” (Graeme Burton, 2008). Pandangan ini didasari
bahwa segala apa yang tercipta dalam realitas kekuasaan bersumber pada
ideologi sebagai pemegang lokasi kekuasaan merupakan representasi dari
institusi media. Hegemoni sebagai tempat kekuasaan yang tersembunyi
berisikan tentang sejuta ungkapan kekuasaan dibentuk melalui teks-teks
media dan penjunkirbalikan makna. Sementara Diskursus sebagai dampak
atau efek dari kekuasaan yang menimpa audiens media. Pada poin ketiga
inilah berbagai ungkapan dilontarkan melalui perdebatan tentangnilai dan
makna di mana pada akhirnya nanti akan menghasilkan suatu konsesnsus
bentuk perubahan sosial dan sifat individual.
Istilah Diskursus (Discourses) atau dengan kata lain wacana itu,
petama kali diperkenalkan oleh Michael Foucault yang mengungkap tentang
penggunaan ide untuk berbicara tentang “orientalisme”. Dalam Diskursus
atau wacana terdapat suatu penguraian bagaimana cara pandangan kita
berbicara tentang sesuatu yang mengungkap teks-teks media dalam bahasa
yang luas dengan suatu “topik pembicaraan” yang dapat diperbicangkan
melalui berbagai macam perdebatan argumentasi hingga membentuk suatu
makna baru didalamnya. Sementara Althusser memandang Diskursus dalam
pengertian lain, “bahwa pendidikan dapat menjadi contoh dari aparat
negara ideologis, yang memastikan bahwa orang-orang yang menjalankan
berbagai aktivitas tetap berada dalam kontrol” (Graeme Burton, 2008).
Pernyataan Althusser ini dapat ditekankan bahwa orang-orang yang
menjalan sesuatu pemerintahan dalam artian bisa negeri dan bisa juga
swasta dengan kata lain perusahaan swasta, adalah orang-orang terdidik
yang mempunyai daya nalar tinggi, sehinggga dapat mengontrol segala
macam apa yang diperbuatnya. Sementara pada saat yang bersamaaan Kata
pendidikan dapat dikunci dengan makna lain seperti orang yang
bersekolah, murid yang menumpuh pendidkan guna mencari ilmu serta makna
lainnnya.
Realitas kehidupan akan merekam bahwa diskursus akan timbul ketika
terdapat “suatu isu” yang dihembuskan oleh kalangan kelas-kelas dominan,
terutama yang menyangkut kepentingan publik. Isu dapat diciptakan oleh
lembaga negara, pemerintah ataupun swasta. Lihatlah ketika pemerintah
akan membatasi subsidi BBM untuk premium hanya digunakan oleh penguna
motor dan angkutan umum, maka gaung diskursus beredar dimana-mana.
Berbagai kalangan mengungkapkan suatu pandangan masing-masing dalam
suatu diskusi entah direstoran, cafe, hotel, halaman perkantoran/gedung
lembaga negara/pemerintah, di jalan-jalan protokol dan tempat ronda di
perkampungan bahkan sampai di pasar-pasar serta warung-warung kecil yang
ada disudut gang berisikan kalangan tukang ojek yang ada disamping
warung tersebut, semua membicarakan tentang kebijakan dari pemerintah
yang menayngkut hajat orang banyak tersebut. Tentu saja wacana yang
tercipta terdapat berbagai macam pandangan baik yang pro dan yang
kontra. Kesemua pendapat dan pandangan berdasarkan topik yang
dilontarkan tercermin melalui perdebatan yang sengit, meskipun hasil
yang diomongkan terasa gombal tak berdampak dan berujung pada kenyataan
yan ada, alias ngomong doang tak menghasikan apa yang mengikat
kepentingan rakyat khususnya kelas pekerja.
Diskursus yang nampak sengit dalam penyelenggaraannya ketika stasiun
televisi menyiarkannya. Lihatlah TV ONE melalui program acara “Apa Kabar
Indonesia” membahas suatu isu yang lagi hangat-hangatnya di dalam
lingkungan masyarakat, demikian juga dengan Metro TV dengan “Todays
Dialoque” serta SCTV dengan “Barometernya”. Dimana dalam pembicaraan
tersebut menghadirkan beberapa tokoh yang berkompeten dalam bidangnya,
baik mewakili pemerintah selaku pemegang kebijkan maupun dari para
kalangan partai serta dari lembaga institusi pendidikan. Lihatlah gaya
mereka bicara semua berargumentasi menurut pandangannya masing-masing
dengan pembicaraan yang alot serta terkesan membela partainya
masing-masing, hal ini terlihat mengisaratkan suatu omongan kegombalan
saja, karena bagaimanapun juga obrolannya dalam kenyataannya tak
berdampak pada kepentingan rakyat kecil.
Diskursus tak akan berhenti, selama peradaban manusia masih
berkembang di permukaan bumi. Setiap waktu akan muncul berdasarkan isu
yang berkembang di masyarakat. Topik yang dibicarakanpun tak terbatas
pada satu bidang ilmu saja, akan tetepi hampir semua bidang ilmu yang
ada terkena dampak dari yang ditimbulkan. Sasarannya yang menjadi subyek
pembicaraanpun menyangkut berbagai macam usia termasuk remaja, esekutif
muda serta orang tua bahkan kakek yang tergolong dalam ikatan usia
lansia juga bisa berkomentar tentang suatu topik. Dalam sudut pandang
status sosial kelompok-kelompok kelas dominan akan terus melontarkan
“suatu isu” yang bertujuan demi memuluskan jalan kepentingan mereka.
Aktifitasnya akan terus menekan kelas dibawahnya sebagai kelas pekerja
yang selalu mengikuti jejaknya. Bagi Kelompok-kelompok kelas pekerja
yang merasa ditekan, akan terus berjuang untuk melawannya, karena apa
yang mereka suarakan merupakan suatu bentuk perjuangan hidup dan
senantiasa dihidupkan dalam menghadapi sepak terjang dari kelas dominan.
Lihatlah suara-suara yang ada dalam berbagai media “kami menolak
tentang hal itu…”, Seret orang-orang yang ada dibalik mereka…” , Si Anu
Bin Goblok itu adalah penjilat, makanya omongannya…, Gantung para
koruptor yang telah menyengsarakan negeri ini… serta bentuk teks
lainnya, dan itu akan terus berkembang dari waktu ke waktu menyesuaikan
situasi dan kondisi yang ada.
Berbagai wacana dilontarkan dengan mengusung tema isu central, dengan
keragaman pandangan dalam berbagai macam kepentingan yang katanya
notabene demi kepentingan rakyat, padahal hanyalah kegombalan yang
dibicarakan.
4. Sakitnya Kebudayaan dalam atmosfir abad setan
Kuatnya serangan
media khususnya televisi dengan segala macam bentuk keragaman tayangan,
berdampak pada sikap gaya hidup masyarakat yang cederung konsumeristik
dan menampilkan keglamoran hidup. Besarnya pengaruh media massa dengan
mengusung “trernd center” akan melahirkan opini publik tentang
suatu pandangan, bahwa faham Life Style sudah menjadi bagian penting
dalam hidup untuk menjadi masyarakat modern di lingkungan masyarakat
kapitalis. Praktek-praktek yang sudah menjadi ikon dari masyarakat
modern sudah nampak di hadapan kita. Sosok-sosok yang mengatas namakan
dirinya menjadi bagian dari masyarakat modern, telah banyak berseliweran
setiap hari ditengah kehidupan kita dengan segala macam atribut yang
menyertainya dan terkadang kita mengeleng-gelengkan kepala, entah
pikiran apa yang ada dalam otak kita tatkala melihat penampilannya.
Lihatlah para sekelompok eksekutif muda dengan penampilan necis berdasi
serta keharuman wangi aroma bunga falmboyan telah bercengkeramah di Cafe
“Sing Nesu Muleh”. Anak-anak muda dengan potongan rambut jambul yang di
cat berwarna-warni bagai burung nuri itu ngobrol dalam selah-selah
perjalanan menuju Mall “Taman Bebas Bermain”. Para remaja dengan
bebasnya bermesraan dan berangkulan di tempat umum “Wakidhun Plaza”,
tanpa ada rasa malu di dalam dirinya. Para keluarga Koruptor yang
berkunjung di tahanan disebabkan terjaring oleh KPK, dengan angkuh dan
bibir yang menyeringai bagai seekor munyuk tertawa lebar mengharapkan
lemparan buah pisang dengan enaknya berkata…. Bapak sehat dan gembira
didalam sana karena…, di hadapan media yang mengerubutinya… Begitu
gampangnya mereka melontarkan kata-kata itu, pada hal apa yang
dilakukannya sangat merugikan negara termasuk uang rakyat yang
ditilepnya, dan perlakuan mereka seakan-akan mencerminkan suatu sikap
tak berdosa.
Analogi lain bercerita, begitu pedihnya rakyat kecil berjuang melawan
hidup dengan derasnya cucuran keringat mereka, sementara orang lain
dengan enaknya mengeruk uang rakyat demi kepentingan perutnya sendiri
tanpa lagi memikirkan dan memperdulikan kepentingan orang lain, dan
ironisnya dengan akal bulusnya mereka dapat meloloskan diri dari jaring
KPK. Proyek-proyek pemerintah yang berkolosi dengan keleompok-kelompok
dominan telah memaksa penduduk setempat untuk hekang dari tempat
tinggalnya dengan dalih pemodernisasian melalui pelebaran jalan,
pendirian Mall, Apartemen, gedung perkantoran yang notabene demi
kepentingan umum, padahal semuanya itu tak terkait dengan
kepentingannya. Pengobakabrikan Satpol PP pada pedagang kaki lima yang
menimbulkan perlawanan hingga menciptakan tindakan anarkis, merupakan
potret kehidupan penindasan bagi kaum lemah. Penundaan gaji para pekerja
pabrik dan THR yang sudah menjadi hak pekerja dan sikap intimidasi dari
perusahaan tentang tuntutan kesejahteraan pekerja turut mewarnai
sederet peristiwa yang terjadi di negeri ini. Sementara wakil-wakil
rakyat yang mereka pilih dengan harapan dapat merubah nasib mereka, mala
keblinger bagai kuda lumping yang kesurupan, betapa tidak gedung yang
megah dan bergengsi itu tadinya merupakan tempat harapan rakyat kecil
untuk menyuarakan perubahan nasib, eeehh… kini mala menjadi arena
pertempuran antar kelompok partai-partai, seperti cerminan tawuran
anak-anak sekolah di ujung jalan raya, yang konon katanya merasa
tergolong orang terpelajar itu. Orang-orang yang merasa dirinya terdidik
bergelar S-1, S-2, bahkan S-3 tetapi kenyataannya daya nalar dan sikap
intelektualnya seperti cerminan dari preman jalanan. Orang-orang merasa
dirinya terdidik tatkala sewaktu di bangku universitas dengan semangat
yang menyala-nyala menjunjung tinggi arti kebenaran, kini begitu lulus
dan bertemu di dunia kerja, apa yang menjadi prinsipnya ketika
bersekolah dulu lenyap seketika dan matanya beruba menjadi warna hijau
tatkala melihat tumpukan uang dari beragam kepentingan di hadapan
mereka. Begitu parahnya peradaban bangsa ini, budaya Indonesia yang
dulunya agung hasil warisan nenek moyangnya dan dipuja-puja oleh
berbagai negara karena sikap kesantunannya itu, kini berubah menjadi
liar tak terkendali, bagai kehidupan binatang saling tikam dalam mencari
makan di hutan belantara.
Dengan sederet peristiwa yang di paparkan di atas, maka dapat
dianalogikan bahwa Kebudayaan kita telah mengalami sakit keras dan
keadaannya amat parah dalam stadium yang mengkhawatirkan. “Keadaan ini
disebabkan oleh kenyataan tidak dimaknainya secara benar tentang sistem
nilai, wawasan hidup dan sikap yang berlaku di masyarakat selama ini dan
tidak dibatinkannya pilar-pilar kebudayaan itu dalam diri setiap
anggota masyarakat negeri ini” (Kunjana Rahardi, 2000). Retaknya
kebudayaan kita itu dikarenakan kurangnya kesetiaan kita terhadap
pilar-pilar penyangga yang tercermin dalam Ideologi Pancasila serta 36
butir makna yang ada didalamnya menjadi suatu pandangan hidup dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena pada kenyataannya
pilar-pilar penyangga tersebut hanya sekedar berdiri tanpa
diperhitungkan kekuatan konstruksinya pada diri setiap warga negara
negeri ini, sehingga ketika kencangnya angin arus globalisasi berserta
dampak yang ditimbulkan menerjang negeri ini, maka kita tidak saggup
menahannya hingga cerminan kebudayaan yang ada dalam diri kita
meninbulkan suatu keretakan yang amat membahayakan. Realaitas kehidupan
negeri ini telah merekam tanpa kebohongan, bahwa kehidupan kita adalah
hegemoni dari kebudayaan asing yang cederung konsumeristik dalam
lingkungan armosfir masyarakat kapitalis. Tanpa sadar nilai-nilai
kebudayaan kita luntur dalam praktik-praktik kehidupan terlindas dengan
praktik-praktik budaya barat yang notabene mengatasnamakan masyarakat
modern. Gaung merah putih dan pancasila tak mampu menguasai keadaan tiap
hari dalam kehidupan dan hanya muncul dengan hebat ketika perayaan hari
besar nasional dan acara simbolik. Kalau sudah begini jadinya siapa
yang bertanggung jawab tentang keadaan yang sudah amat memprihatinkan
ini ?.
Perilaku-perilaku negatif hasil dari pengaruh budaya kapitalisme
dengan alasan modernisasi telah menjadi kebudayaan baru di negeri ini
dan menggilas budaya lokal yang mengusung kesopanan dan budi pekerti
luhur sebagai adat ketimuran.
Penutup
Dari pemaparan yang telah dibahas
dengan beragam sudut pandang, maka dapat ditarik benang merahnya, bahwa
televisi selain sebagai sarana penyebar suatu informasi yang melatih
daya nalar tinggi juga sebagai sarana hiburan yang murah meriah, dan
anehnya pemirsa dalam menikmati program acaranya tidak dipungut biaya,
walaupun teleh menikmati produknya. Dibalik tayangan televisi melalui
program acaranya itu, banyak kalangan mengkhawatirkan dampak yang
ditimbulkan dari tayangannya, hal tersebut bisa terjadi, dikarenakan
banyaknya rambau-rambu dalam perancangan program acara yang dikeluarkan
oleh KPI dikesampingkan begitu saja hanya demi kenaikkan rating
televisi. Tayangan apapun yang dilahirkan oleh industri media televisi
dengan segala macam ideologi yang banyak mencerminkan budaya asing dan
faham kapitalis di dalamnya akan berdampak pada permirsa, dan
berimplikasi pada perubahan gaya hidup baik yang bersifat positif maupun
negatif dalam kehidupan manusia, siapapun sasarannya entah anak-anak,
remaja ataupun orang dewasa. Kalau dikaji dari sisi dampak yang terjadi
lebih banyak negatifnya yang didapat dari pada sisi positifnya. Media
televisi sebagai industri budaya tak segan-segan melakukan penyerangan
lewat tayangan yang dikonstrusi sedemikian rupa hingga menyedot permirsa
menjadi kecanduan. Karena gencarnya serangan dari tayangan televisi
yang di lancir oleh media televisi, tanpa disadari hal tersebut
seolah-olah menjadi bagian dari kehidupan kita. Bila hal ini terjadi
terus menerus, maka akan dikhawatirkan budaya Indonesia yang menjunjung
tinggi keluhuran budi pekerti, sifat sabar dan norma kesantunan bisa
tergilas oleh budaya baru yang menawarkan serta merta keglamoran hidup
dan mengkapitaliskan prakteik-praktik dalam kehidupan bermasyarakat.
Kalau sudah begini lantas dimanakah posisi Pancasila dan makna-makna
yang ada di dalamnya di mana pada awalnya negara ini didirikan sudah
menjadi harga mati dan satu satunya Ideologi yang menjadi pegangan dan
sebagai pandangan hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ?.
Sudah menjadi kewajiban kita bersama, khususnya kalangan yang
berpendidikan tinggi saling mengingatkan, bahwa tak semua tayangan yang
tercermin di dalam televisi mempunyai nilai kebaikan, bahkan ada yang
sampai menyesatkan. Kini tergantung kita semua bagaimana menyikapinya.
Hendaknya segala tayangan yang ada dicerna secara mendalam dikaji sisi
positifnya untuk kemudian ditransformasikan dengan budaya kita sendiri.
Seandainya semua insan negeri ini setia penanmkan budaya kita yang luhur
itu secara mendalam dan memaknainya secara benar dalam sanubari, maka
niscaya kebobrokan peradaban bangsa ini tak pernah terjadi.
Diperlukan ketegasan perintah lewat lembaga Komisi Penyiaran
Indonesia, Kementrian Komunikasi dan Informasi, Kementrian Budaya dan
Pariwisata serta Lembaga Sensor Film untuk terus mengontrol acara-acara
dari televisi secara instensif dan memberikan sangsi yang tegas dan
keras jika ada televisi yang membandel terhadap aturan-aturan yang telah
disepakati bersama, demi menghindari atau meminimalisir dari efek-efek
negatif yang ditimbulkan oleh tayangan televisi.
Daftar Pustaka :
Burton, Graeme. 2008. Media dan Budaya Populer. Penyadur: Alfathri Adlin. Yogyakarta: Jalasutra.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Ralita Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: MU:3.
Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Toko Buku Kompas Media Nusantara.
Rahardi, Kunjana. 2000. Renik-Renik Peradapan. Yogyakarta: Duta Wacana Univercity Press.
Storey, Jonh. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Penyunting: Dede Nurdin. Yogyakarta: Qalam.
Al-Barry, MDJ. Sofyan hadi. 2000. Kamus Ilmiah Kontemporer. Bandung: Pustaka Setia.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Surbakti, EB. 2002. Awas tayangan Televisi: Tayangan Misteri dan Kekerasan Mengancam Anak Anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Riswandi. 2009. Dasar-Dasar Penyiaran. Jakarta: Graha Ilmu.
Mulyana, Dedi, Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Arifin, Eva. 2010. Broadcasting: To Be Broadcaster. Yogyakarta: Graha Ilmu.
More Article Di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar