KRISIS BUDAYA NASIONAL INDONESIA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI
Oleh : Teguh Imanto
Gencarnya arus globalisasi dengan
diikuti hadirnya kecanggihan teknologi di dalam penerapannya yang
menerpa Indonesia, membuat lahirnya peradaban Indonesia dibawa menuju
kearah kehidupan dunia barat. Lahirnya modernisasi di dalam masyarakat
kita telah sedikit banyak merubah cara pandang dan pola hidup
masyarakat, sehingga peradaban yang tercipta merupakan duplikasi budaya
masyarakat barat yang cenderung berjiwa konsumtif dan hedonis. Berbagai
macam fenomena kehidupan yang terjadi di lingkungan masyarakat dewasa
ini, telah mengilustrasikan suatu keadaan yang mencerminkan layaknya
kehidupan masyarakat dunia barat dan telah menggeser kedudukannya dari
budaya kelokalan Indonesia telah eksis sebelumnya. Pola ini memang
sengaja dilakukan oleh para penguasa media yang melahirkan dan
mempopulerkan pola hidup semacam itu lewat pengaruh produknya yang
notabene sebagai cerminan kebudayaan lebih modern serta
digembar-gemborkan melalui jejaring medianya yang telah mereka bangun
sebelumnya, hingga masyarakat khususnya generasi muda terkena dampak dan
bertekuk lutut meniru secara mentah-mentah tanpa adanya koreksi diri
dari produk di balik tayangan medianya dari lansiran kaum kapitalis itu.
Industri media yang menguasai jaringan cyber digital space itu, memang
telah sengaja mengobrak-abrik tatanan hidup bangsa Indonesia yang
terkenal satun itu, dan telah menjadi bagian dari jatidiri bangsa
Indonesia selama bangs ini didirikan oleh para pendahulunya, kini
diganti dengan kebudayaan seronok, berperilaku rusak, dangkal pemikiran,
berjiwa pragmatis, instanis, konsumtif serta hedonis. Jaringan media
entah dalam bentuk televise atau film yang harusnya sebagai alat
pencerahan hidup masyarakat, kini telah mengambil alih posisiya,
sehingga budaya luhur dan norma kesantunan yang sudah mapan warisan dari
nenek moyang itu, kini keberadaanya digantikan dengan budaya baru
sebagai cerminan realitas palsu yang berkembang ditengah kehidupan
masyarakat melalui berbagai sarana jaringan media yang ada, hingga pada
akhirnya lahir peradaban barudengan keragaman bentuk hasil replika dari
kebudauaan barat di tanah Indonesia.
Kata Kunci : Globalisasi, Film, Televisi, Gaya hidup, Sikap Seniman
Pendahuluan
Ketika frame berpikir kita diarahkan
untuk memasuki era Millenium ke tiga, maka mata kita akan tercengang
melihat segala sesuatu yang terekam dalam pikiran tat kala kita melihat
pergerakan benda-benda luar angkasa dan pada saat bersamaan salah satu
meteor bergerak kearah kita, dan tanpa sadar tiba-tiba kita berteriak
lalu terjungkal jatuh kelantai menimpah kakak kita yang sedang menikmati
nasi tumpeng hasil dari kenduri hajatan tetangga sebelah. Illustrasi di
atas merupkan hasil pengaruh perekayasaan gambar televisi berteknologi
3D. Abad millinium ketiga adalah abad berperannya teknologi canggih
dalam kehidupan manusia, dimana perangkat-perangkat teknologi yang
menyertai segala macam aktifitas manusia telah berganti dari sistem
manual menjadi sistem digital. Kehadiran teknologi digital ditengah
aktifitas manusia telah menunjukkan tingkat peradaban manusia pada titik
kulminasi eksperimentasi teknologi, di mana kenyataan ini menegaskan
bahwa perangkat “teknologi digital” telah menggeser pemahaman “logika
matematis” konvensional. Dengan demikian akan terjadi pengkaburan
persepsi antara “akal manusia” yang menghasilkan persepsi dengan
“akal buatan” yang menghasilkan teknologi, dan akibatnya dampak
realitas yang terlahir adalah jarak “rohani” menangkap suatu peristiwa
yang tadinya dibatasi dari layar monitor ke mata, kini lebih dekat lagi
sampai ke lensa mata, dan semakin mendekat lagi hingga “diri kita” telah
masuk dan dipermainkan oleh mesin-mesin canggih melalui perangkat Cyber
Virtual Digital.
Modernisasi yang dikumandangkan di
berbagai belahan dunia, tanpa disadari akan melahirkan budaya baru
dengan mengusung atas perkembangan dan berperannya teknologi dalam
proses kelengsungan kehidupan manusia itu sendiri, sehingga peradaban
yang terlahir menjadi gegap gempita dan luar biasa. Berbagai macam
karya-karya imajinatif yang dihasilkan dari sentuhan system teknologi
digital telah merubah peradaban dunia menjadi lebih megah dan dinamis.
Segala macam benda-benda yang menjadi pendamping dan alat beraktifitas
manusia mulai dari tempat tinggal, transpotasi serta hiburan sampai gaya
hidup, kini telah menunjukkan pergeseran dari mekanik ke elektrik.
Revolusi teknologi makin menguasai dunia ketika teknologi informasi
menunjukkan keberadaanya. Kenyataan ini menegaskan bahwa, berperannya
kehadiran teknologi informasi dalam relung-relung kehidupan manusia,
membuat sesuatu yang tadinya ada sebatas angan-angan di ”dunia maya”,
kini telah menjadi suatu hal yang seolah-olah menjadi ”realitas
sebenarnya”, bahkan komunikasi antar manusia semakin lebih dekat. Pada
awalnya persepsi manusia menyatakan, bahwa dunia ini sangat luas dan
untuk berkomunikasi tentunya diperlukan waktu yang panjang dan
berliku-liku dalam proses operasionalnya. Namun persepsi itu kini
argumentasinya dapat dipatahkan, karena pada kenyataannya kini luasnya
dunia bahkan sampai jagat rayapun seolah-olah berada dalam satu
genggaman tangan. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
peralatan teknologi informasi dengan berbagai kecanggihannya yang
terlahir, akan membawa arus informasi dunia dan komunikasi antar negara
telah terkoneksi melalui jaringan teknologi informasi cyber digital yang
terhubung antara negara satu dengan negara lainnya secara on line,
hingga arus informasi yang ada di dalamnya telah menyebar ke seluruh
dunia dan kini keberadaannya sulit dibendung lagi penyebarannya, inilah
yang sering terdengar oleh kita dengan istilah “globalisasi”.
Globalisasi muncul sebagai
pergerakkan pemikiran manusia untuk ingin mengetahui isi dunia. Secara
teoretis globalisasi juga dapat dikatakan sebagai penggambaran dari
teori evolusi yang telah dikemukakan oleh Darwin dengan pergerakan
perkembang biakan pertumbuhan dari hewan primata itu menjadi asal
mulanya manusia. Demikian juga dengan istilah globalisasi merupakan
penggambaran dari puncak perubahan peradaban manusia yang telah
menunjukkan pergerakannya. Kenyataan ini dapat diillustrasikan bahwa
manusia mengalami pergerakan dalam melangsungkan kehidupannya, dimulai
dari kehidupan zaman primitif dimana kehidupan bergantung pada kondisi
alam. Kemudian bergerak ke zaman roda, setelah mesin ditemukan masuklah
kehidupan zaman mekanik, dimana aktifitas manusia diimbangi dengan
peralatan berteknologi manual. Revolusi industri dan ditemukannya
teknologi elektrik dengan menggunakan kekuatan listrik sebagai
sumbernya, membuat manusia terus bereksperimentasi dengan teknologi
untuk menciptakan sesuatu yang baru, sampai pada akhirnya dihadapkan
dengan situasi zaman modern. Modernisasi yang dilakukan secara
besar-besaran dalam dunia teknologi hingga melahirkan teknologi digital
yang memungkinkan manusia masuk dalam “dunia maya” seperti sekaranag ini
kita rasakan. Kenyataan ini menyatakan bahwa lahirnya teknologi terkini
membuat manusia semakin mudah untuk mewujudkan ide imajinatifnya segila
apapun, dengan mudah dapat terwujudkan. Sehingga persepsi tentang suatu
realitas yang ada dan tiada sangat tipis bedanya. Hal ini disebabkan
oleh “perkembangan teknologi informasi memungkinkan manusia hidup dalam
ruang di mana mitos “ada” menjadi dunia citraan media massa” (Heidegge,
1999).
Teknologi informasi yang lahir dan
dibesarkan di dunia barat, telah lebih banyak diterapkan oleh kelompok
kapitalis yang menguasai pasar industri. Dunia industri dengan segala
macam pengetahuan yang terlahir telah memaksa teknologi informasi berada
dipihaknya hingga peradaban yang terlahir adalah tangan-tangan
pengedali pasar industri. “Globalisasi telah menjadi kekuatan yang
membutuhkan respons tepat karena ia memaksa suatu strategi bertahan
hidup (survival strategy) dan strategi pengumpulan kekayaan (accumulative strategy)
bagi berbagai kelompok dan masyarakat” (Featherstone,1991). Kenyaan ini
memberi dampak bahwa proses yang terjadi telah membawa pasar dunia
industri dengan segala macam bentuk dan format operasionalisasinya
menjadi suatu kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan
sosial yang bertumpuh pada prinsip-prisip perekonomian kian padat dan
canggih dalam operasionalisasinya. Dari dampak yang ditimbulkan, telah
mempengaruhi realitas jangkauan pasar industri telah mewabah keseluruh
dunia melalui jaringan cyber multimedia digital termasuk Indonesia yang
tak luput dari efeknya.
Gencarnya arus globalisasi dengan
diikuti hadirnya kecanggihan teknologi di dalamn penerapannya yang
menerpa Indonesia, membuat lahirnya peradaban menuju kearah dunia barat.
Lahirnya modernisasi di dalam masyarakat kita telah sedikit banyak
merubah cara pandang dan pola hidup masyarakat, sehingga peradaban yang
tercipta merupakan duplikasi budaya masyarakat barat yang cenderung
berjiwa konsumtif dan hedonis. Berbagai macam fenomena kehidupan yang
terjadi di lingkungan masyarakat dewasa ini, telah mengilustrasikan
suatu keadaan yang mencerminkan layaknya kehidupan masyarakat dunia
barat. Pola ini memang sengaja dilakukan oleh para penguasa media yang
melahirkan dan mempopulerkan pola hidup semacam itu lewat pengaruh
produknya yang notabene sebagai cerminan kebudayaan lebih modern serta
digembar-gemborkan melalui berbagai macam jejaring medianya hingga
masyarakat bertekuk lutut, lalu meniru secara mentah-mentah tanpa adanya
koreksi diri dari produk lansiran kaum kapitalis itu. Industri media
yang menguasai jaringan cyber digital space itu, memang telah sengaja
mengobrak-abrik tatanan hidup bangsa Indonesia yang terkenal satun itu,
dan telah menjadi bagian dari jatidiri bangsa Indonesia selama ini, kini
diganti dengan kebudayaan seronok, berperilaku rusak, dangkal
pemikiran, berjiwa pragmatis, instanis, konsumtif serta hedonis.
Realitas kehidupan yang terjadi dari
masuknya arus globalisasi dengan intensitas tinggi itu, sedikit banyak
berimplikasi pada sendi-sendi kehidupan bangsa yang dahulunya dikenal
luhur budi pekertinya itu, kini telah teracuni oleh faham-faham yang
datangnya dari luar. Dalam situasi bersamaan masuknya jaringan informasi
digital international yang mengusung pernik-pernik kehidupan berdasar
pada masuknya bermacam-macam ideologi diantaranya kapitalisme,
libaralisme, materialisme, pragmatisisme, hedonisme, telah menjilma
menjadi sosok-sosok pencari sensasi kehidupan melalui jaringan cyber
multimedia space berteknologi digital. Mudahnya pengaksesan situs-situs
jaringan internet oleh insan negeri ini dari anak-anak, remaja,
eksekutif muda, bahkan orang tua sekalipun pada situs-situs website
jaringan international dengan kompleksitas content di dalamnya tanpa bisa lagi membedakan mana baik dan buruk termasuk mengantisipasi arus pergerakkannya.
Pesatnya perkembangan teknologi
informasi dalam arus globalisasi yang tinggi intensitasnya dan tidak di
imbanginya dengan penanaman ideologi bangsa yang kuat dan kualitas
pendidikan yang memadahi dari penyelenggara negara pada rakyatnya,
menyebabkan bangsa ini hanya melahirkan insan – insan yang gila akan
pragmatisisme dan konsumerisme, hingga bangsa ini telah menjadi bangsa
berjiwa konsumtif dan hedonis yang gila akan barang-barang semata, tanpa
mau belajar bagaimana cara barang itu diciptakan dengan kualitas baik.
Dari kenyataan ini, membuktikan bahwa dunia pendidikan kita tidak
dirancang dan diintegrasikan dengan dunia industri yang mengusung
teknologi canggih, sebagai jalan menuju suksesnya kemandirian suatu
bangsa, hingga masyarakatnya menjadi bodoh, karena tidak bisa berpikir
dengan jernih mana yang baik dan mana yang kurang baik dalam memandang global information yang
setiap detik hadir dan menyebarkan virusnya di tengah-tengah masyarakat
kita. Lihatlah realitas kehidupan telah dipenuhi oleh sosok penyebar
kebudayaan barat dengan posisi mendominasi dari budaya kelokalannya di
tengah masyarakat. Tengok saja sekumpulan eksekutif muda dengan
keharuman parfum wangi bunga sedap malam telah berdiskusi dalam suasana
alunan musik klasik hasil gesekan biola Mozart di salah satu sudut
ruangan “Americano Cafe” yang bergaya Amerika itu. Segerombolan anak
muda berambut Punk, suatu gaya rambut model kulit duren dengan segudang
atribut pernik-pernik dari metal itu, telah nongkrong dan bernyanyi ria
di bawah jembatan layang jalan wakidun. Para remaja putri dengan pakaian
seronok, bercelana ketat serta mengumbar pusernya terlihat jelas di
pelataran Soeparno Plaza. Para pasangan ABG dengan model rambut ke
coklat-coklatan mirip buah jagung yang membesar dari tangkainya itu,
telah bermesraan dan berangkulan seenaknya sendiri di tempat umum “Mbah
Dipowinangun Plaza”, tanpa ada rasa malu di dalam dirinya. Banyaknya
para ABG berperilaku liar duduk mojok ditempat sepi sambil tangnanya
cowal-cawil kesana kemari… ya… anda bisa bayangkan sendiri… apa yang
telah dilakukannya… Begitu banyak fenomena-fenomena kehidupan yang
terjadi di masyarakat baik remaja, eksekutif muda maupun orang tua
dengan mentalitas paradok dari kehidupan seharusnya sebagai warga negara
yang menjunjung budaya Indonesia sendiri dimana sopan santun dalam
berperilaku diperlakukan di masyarakat.
* Perilaku-perilaku kontradiksi dari
budaya nasional Indonesia telah membekas dalam jiwa generasi muda
merupakan hasil replika kebudayaan barat melalui transformasi budaya
salah kaprah dan digembar gemborkan oleh jaringan media digital dengan
segala macam bentuk rupanya itu telah mendominasi dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini hingga budaya leluhur bangsa Indonesia dalam kaca
mata Ideologi Pancasila tergilas dan terlempar menggelepar klepek-klepek
dan tak berdaya menghadapinya lalui lunglai dan tidur pulas entah
kemana rimbahnya *
1. Lunturnya Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai dasar sistem filsafat
bangsa hendaknya dikembangkan sebagai “filsafat kritikal”, karena
Pancasila sebagai satu satunya ideologi bangsa Indonesia mempunyai sifat
terbuka dan dapat dikembangkan pemaknaan baru yang terkandung di
dalamnya, hal ini sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia yang
selalu berkembang sesuai dengan tuntutan meningkatnya peradaban manusia.
Kenyataan ini berdasar bahwa Pancasila bukannya suatu ideologi bangsa
yang bersifat konservatif, namun sebuah ideologi yang mampu membuka
wacana pemikiran progresif dan membuka ruang kritik terhadap segala
penyelewengan dan pengingkaran yang ada di dalamnya. Masalahnya adalah
ketika suatu kritikan atau masukan yang dilontarkan kepadanya, tanpa
pengkajian yang konstruktif dan tidak dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya, hingga ruang wacananya sering kali menyimpang dari
dasar-dasar bahkan ada yang menentang, meragukan dan menolaknya. Ini
adalah sikap yang tidak bisa diterima di dalam suatu kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakatsementara tingkah laku atau
perilaku yang ditampilkan tidak bercermin sebagaimana mestinya dan
bertolak belakang dengan Ideologi Negaranya, padahal dia berharap hidup
tentram dan bergantung kepadanya…!!!
Berikut ini adalah
pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan ketimpangan atau pengingkaran
terhadap ideologi Pancasila melalui berbagai macam perilaku yang tumbuh
dan berkembang dalam lingkungan masyarakat :
- Apakah relevansinya semangat mengoreksi Ideologi kebangsaan, jika Masyarakat di dalamnya tetap berkehidupan menderita, miskin, dan serba susah ?.
- Untuk Apa kita mencintai Negara kita sendiri, jika para pemimpin dan elit bangsa ini hidup berpoya-poya demi kemauan sendiri, sementara sebagian besar masyarakat lainnya hidup menderita dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak ?.
- Untuk Apa kita mencintai Negara kita sendiri, sementara para pemimpinnya serta para elit politik berkolaborasi dengan kekuatan asing mengeksplorasi kekayaan alam demi menguntungkan segelintir orang saja atau kelompok saja ?.
- Untuk apa kita menghargi Negara atau kekuasaan, jika tindakan kriminal berbagai bentuk menyusup ditengah-tengah kehidupan dalam segala macam versi tanpa ada tindakan hukum yang berarti, hingga menyebabkan terpuruknya bangsa ini ?.
- Untuk apa kami mengabdi pada Bangsa dan Negara ini, jika negeri yang kami pijak tidak memberikan rasa keadilan yang tegas pada rakyatnya ?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang
perlu adanya renungan tentang lunturnya semangat kebangsaan dan
pemahaman ideologi bangsa seiring dengan kencangnya arus globalisasi
yang melanda negeri ini, dan tanpa sadar merubah pola pikir dan gaya
hidup kearah kebarat-baratan yang notabene sebagai masyarakat lebih
modern. Tanpa disadari masyarakat dewasa ini, tidakkah masyarakat kita
telah memilih dan memiliki orientasi baru dalam berpikir dan berperilaku
?. Suatu realitas kehidupan telah terlukis bahwa masyarakat dalam
situasi dan kondisi bangsa yang serba kompleks dengan segala
permasalahannya menyebabkan masyarakat menerapkan pola pikir yang
pragmatis hingga melahirkan pragdigma baru dalam berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat yang kebenarannya sangat diragukan dan dapat
dikategorikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap ideologi Pancasila
sebagai pegangan hidup bangsa Indonesia. Dan ironisnya para pemimpin dan
elit bangsa negeri ini terus melakukannya dengan beragam cara…!!!
Sikap tanggap dan menumbuhkan
semangat mengembangkan ideologi bangsa ini harus ditumbuh kembangkan
guna menciptakan gagasan besar dalam menyikapi realitas kehidupan dewasa
ini yang semakin mengglobal dengan kekompleksitasan problematika dalam
ruang keheterogenan masyarakat. Semangat pemahaman dan pengembangan
ideologi Pancasila akan terus melemah dan mungkin akan hilang dari
pikiran masyarakatnya, jika para pemimpin dan elit pemegang kekuasaan
negara tidak memberikan perlindungan kesejahteraan yang layak bagi
rakyatnya. Permasalahan ini secara kasat mata telah berseliweran di
depan mata kita, masalah upah/gaji pendapatan yang tak berimbang dengan
kebutuhan hidup, terbatasnya lapangan kerja, masalah energi, BBM yang
tumpang tindih dengan berbagai kepentingan dan rendahnya mutu pelayanan
publik pada masyarakat serta rasa keadilan yang tak pernah hinggap pada
insan negeri ini akan menjadi pemicu atas rendahnya kualitas pemahaman
terhadap ideologi Pancasila dan bukan tidak mungkin akan mengabaikan
begitu saja keberadaanya. Selama penguasa tidak mampu mengelolah negara
dengan kualitas lebih baik dan efektif, maka akan menjadi suatu masalah
besar bagi bangsa ini, karena kesemuanya itu akan menumbuhkan rasa
apatis dan melemahnya kepercayaan rakyat terhadap negaranya sendiri,
kalau sudah begini… terus mau apa untuk menaikkan pamor Pancasila
sebagai satu-satunya pandangan hidup bangsa Indonesia tercinta?.
Fenomena atas tumbuh suburnya faham
pragmatisme, konsumerisme, hedonisme serta kapitalisme dalam
praktik-praktik sosial masyarakat akan terus menggulirkan suatu
pertanyaan dan mengalirkan racunnya ke benak pikiran masyarakat sampai
nantinya berkata, apa untungnya memikirkan rasa nasionalisme, semangat
kebangsaan, pelestarian dan pengamalan ideologi Pancasila selama perut
dari rakyat ini sangat lapar sekali… heeeiii…?. Generasi muda Indonesia
dewasa ini lebih cenderung berbicara gaya hidup ketimbang berbicara
masalah nasionalisme dan kebangsaan serta ideologi negara. Hidup jujur
dan tidak jujur sama saja hasilnya, berperi laku sopan dan maling
berdasi gak ada bedanya dan yang konyol lagi lebih baik menipu daripada
tertipu. Berbicara rasa keadilan yang berujung pada penegakan hukum di
Indonesia adalah semu belaka, karena pada kenyataannya para penegak
hukum sudah menjadi aktor perdagangan perkara, sehingga keadilan yang
tercipta adalah menjadi alat komoditi kekuasaan. Kalau keadaan realitas
kehidupan di Republik ini sudah begini, lalu untuk apa lagi kita
mencintai negeri ini yang jelas-jelas mengenyangkan bagi
kelompok-kelompok yang dekat dengan pengambil keputusan…?.
Rakyat Indonesia memang telah
merebut kemerdekaan dari para penjajah dengan pengorbanan jiwa raga
serta darah yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa ini
sebelumnya. Apakah kemerdekaan warisan dari para pejuang dan pendiri
bangsa ini dapat kita rasakan sekarang?. Kenyataannya kemerdekaan yang
telah kita raih dengan susah payah tidak mampu menjamin kesejahteraan
rakyatnya. Di balik kemerdekaan itu telah melahirkan tingginya
kemiskinan, kebodohan, penjajahan manusia oleh manusia, diskriminasi,
penggusuran rakyat yang lemah, praktik ketidakadilan, tindakan rasial,
rendahnya kesejahteraan hingga pada akhirnya kemerdekaan belum
menberikan nilai serta makna yang diharapakan. Begitu banyak
jargon-jargon yang diwacanakan sebagai bentuk perwujudan atas
terciptanya kesejahteraan rakyat, namun realitasnya berkata lain.
Kondisi bangsa ini justru mengalami keterpurukan begitu dalam hingga
menimbulkan krisis nasional dalam skala multidimensi, hal tersebut
disebabkan oleh tingginya praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme yang
berimbas atas lahirnya garong-garong dalam segala situasi dan kondisi.
Banyaknya maling-maling berskala besar di tingkat atas para elit politik
dan pemegang kekuasaan, merupakan wujud nyata dari pengingkaran dan
penyimpangan atas ideologi bangsa serta tatanan hidup yang telah
dilahirkan oleh para pendahulu bangsa ini.
Dalam situasi dan kondisi seperti
ini, masyarakat rawan dengan tindakan pragmatis dengan caranya sendiri,
hal itu disebabkan timbulnya rasa kekecewaan terhadap ketidak mampuan
negara dalam menciptakan kesejahteraan yang berpihak kepadanya, hingga
pada akhirnya kehilangan jatidiri bangsa. Dan “ketika terjadi krisis
tentang jatidiri bangsa, maka masyarakat tidak peduli lagi tentang
ideologi bangsanya, karena dianggap tidak berpihak kepadanya dan mencoba
mencari-cari ideologi lain termasuk memuja-muja bangsa lain dari
berbagai aspek yang mereka pahami dan dengan serta merta caranya
sendiri, mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari” (Naya Sujana,
2008). Sebuah krisis jatidiri bangsa ini akan selalu tumbuh dan
berkembang seiring dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi yang
menerjang negeri ini, sehingga faham-faham konsumerisme, pragmatisisme,
liberalisme, materialisme, kapitalisme dan hedonisme yang berasal dari
dunia barat akan selalu meracuni masyarakat negeri ini dan lambat laun
tercipta krisis moral dan ahklak yang berkelanjutan hingga timbul mental
moralitas paradoks yang melahirkan lingkungan masyarakat munafik.
Sejak keruntuhan rezim orde baru,
masyarakat mempunyai sikap apatis dan enggan membicarakan ideologi
bangsa Indonesia yaitu Pancasila, karena Pancasila dianggap gagal
membentuk watak manusia Indonesia seutuhnya. Simolasi P4 dan
penatarannya yang telah dilakukan sepanjang tahun tidak mampu atau
dianggap gagal dalam menciptakan manusia yang ideal seperti harapan dari
36 butir makna-makna dalam Pancasila. Padahal diadakannya penataran P4
bertujuan sangat baik yaitu bangsaIndonesiamempunyai jiwa “Good Citizen
and Strong Nation”. Namun masyarakat yang terlahir adalah justru
sebaliknya, manusia-manusiaIndonesiakini berperilaku “Semau Gue”, ini
jelas-jelas sebagai bentuk pengingkaran dari ideologi bangsa yang
semestinya. Realitas negeri ini dipenuhi oleh Jiwa-jiwa bengis saling
tikam antar sesama, mental korup, sikap hedonis, otak garong, mulut
penipu serta kata-kata lain yang intinya perilaku di luar kehendak dari
makna-makna 36 butir penjabaran dari sila-sila Pancasila. Kita tidak
bisa membedakan lagi siapa yang bertanggug jawab atas keadaan ini apakah
salah oknom ataukah kelompok tertentu yang bermain atau… bahkan
masyarakat kita semua ?. Sampai kini belum ada pernyataan resmi dari
siapapun, dan yang terjadi adalah semuanya membisu, budeg dan tuli
sengaja membiarkannya sampai bisul membesar hingga pecah berantakan.
* segala macam tindakan yang
dilakukan bangsa ini mengarah pada pengingkaran terhadap ideologi negara
yaitu Pancasila dengan segala macam makna yang ada di dalam kelima
silanya itu menjadi tindakan kontradiktif baik penyelengara negara
maupun rakyatnya sendiri hingga menimbulkan krisis multi dimensional
yang menimbulkan jurang pemisah antara kaya dan miskin ke arah pelebaran
tanpa ada upaya perbaikan yang berarti, Jika ini dibiarkan terus
berkepanjangan tanpa ada penyelesaian, maka tidak menutup kemungkinan
rakyat rakyat akan bersikap apatis terhadap masa depan bangsanya sendiri
*
2. Dimana Posisi Peran Seniman Berada ?
Masuknya arus globalisasi di Indonesia
telah banyak menarik peran seniman dalam mewujudkan perubahan peradaban
yang lebih tinggi. Banyak karya-karya para seniman baik fine art maupun
applied art dalam kehidupan masyarakat. Lihatlah gedung-gedung
pencangkar langit bertebaran dengan segala macam gaya arsitektur,
termasuk interior di dalamnya. Gambar-gambar yang imajinatif terpampang
diperempatan jalan protokol telah menggoda pikiran orang yang lewat di
depannya. Spanduk, Billboard, iklan majalah, iklan koran serta iklan
televisi dari berbagai macam tema telah mengantarkan para seniman untuk
menunjukkan kemampuan dan eksistensinya di dalam lingkungan masyarakat.
Demikian juga Acara-acara televisi yang kian lebih dinamis dan
berfariatif dalam pengemasanya berbagai bidang ilmudisatukan dalam
dinamisasi gambar hingga membuat masyarakat semakin ceriah dalam
melangsungkan kehidupannya. Bagaimana kekuatan televisi dapat
menghadirkan musik secara live dan ditonton dalam waktu yang sama
diseluruh wilayah Indonesia bahkan manca negara, demikian juga lewat
acara pemberitaan gambar ekspresi para anggota DPR yang lari dari
kursinya menuju ke mimbar ketua sambil gebrak meja, Ekspresi para ketua
dan wakil ketua yang kalut dan ketakutan. Para anggota yang saling
cakar, sikut dan jotos serta teriakan makian liar antar anggota
merupakan kumpulan wajah-wajah ekspresi yang sulit di dapatkan, dalam
sidang-sidang sebelumnya atau sesudahnya. kesemuanya itu tampak hidup
dan begitu nyata dalam penglihatan kita, sambil berkata ”iki…opo…meneh…
ngono… wong pendidikane duwur…kok kelakuane koyok… preman…???”…
dasar…kadal buntung…lho anggota dewan…!!!. Saya memilihmu bukan untuk
bertengkar dalam sidang, tetapi dapat menyuarakan kepenting rakyat agar
bisa hidup sejahterah…!!!.
Katheleen Hall Jamieson menyebut
”kekuatan televisi ini sebagai dramatisasi dan sensasionalisasi isi
pesan”. Pada pandangan lain Irving Kristol menyebutkan ”Apa yang dapat
dilakukan oleh televisi, dengan kekuatan yang luar biasa, adalah
memobilisasikan emosi pemirsa di sekitar gambaran dunia politik yang
hidup, disederhanakan dan bersifat melodramatik di mana pujaan dan
kutukan menjadi kutup-kutup magnetiknya”. Pernyataan ini didasari dengan
asumsi bahwa kekuatan televisi dapat membangkitkan pemirsa untuk
meyakini suatu peristiwa yang mendramatisasi suasana lewat gambar-gambar
yang telah direduksi hingga menimbulkan suatu pertentangan dan pujian
diantara persepsi yang ditimbulkan. Visualisasi suatu peristiwa yang
terjadi di masyarakat dan disiarkan melalui tayangan televisi,
sebetulnya bukanlah suatu realitas yang sebenarnya seperti ketika kita
menangkap obyek tepat di depan mata. Deretan ribuan bahkan jutaan frame-frame
dari realitas itu merupakan sesuatu yang sudah diolah dan dikemas
sedemikian rupa hingga pemirsa tanpa sadar bahwa gambar yang dilihatnya
itu adalah suatu kebohongan yang tersembunyi. Inilah kesamaan yang
diungkapkan oleh “kaum Aliram Marxisme Frankfurt tentang kesadaran palsu
berdasar pada Penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai
nilai serta makna yang ada didalamnya serta hubungan sosial di dalam
lingkungan masyarakat dibentuk oleh kekuasaan media”. (Graeme Burton.
2008).
Ditengah perekonomian yang dikuasai
oleh para kelompok-kelompok kapitalis, membuat perekonomian nasional
yang mengusung usaha kecil menengah makin terjepit posisinya dan pada
saat yang kurang menguntungkan nanti akan terlempar dari lingkungannya.
Suatu contoh dalam industri budaya khususnya televisi, dapat dilihat
betapa kuat industri-industri yang menguasai perekonomian di negeri ini
tergambar dalam iklan televisi dan dapat menciptakan permainan pasar
hingga masyarakat tunduk tanpa perlawanan yang berarti. Kesemuanya itu
merupakan ide dan perwujudan dari peran seniman dalam membangun
peradaban Indonesia ke taraf yang lebih maju, hingga kehidupan
masyarakat terlihat lebih hidup dan dinamis daripada sebelumnya. ”cerita
sinetron tidak hanya sekedar menjadi sajian menarik di layar kaca,
tetapi juga sebagai bahan diskusi atau bahan ngrumpi diantara para ibu
di kelompok arisan, antara anggota keluarga, bahkan tidak jarang
nilai-nilai sosial yang ada di dalam tayangannya sebagai rujukan
perilaku para penggemarnya” (Labib, 2002). Demikian juga acara-acara
televisi yang senang digandrungi para pemirsa negeri ini telah dikuasai
oleh kelompok-kelompok kapitlis yang mementingkan kelompoknya sendiri
tanpa memperdulikan dampak dari produk yang ditayangkan. Dari kenyataan
ini mengisyaratkan bahwa posisi seniman terpecah menjadi dua bagian.
Bagi mereka yang haus dengan populeritas dan hidup yang layak, maka mau
tidak mau karya-karyanya turut mengikuti perusahaan yang cenderung ke
arah kapitalis dengan produknya kearah ”Budaya Populer” dimana
keberadaan dari produk ini memang sangat digandrungi masyarakat dewasa
ini terutama generasi mudanya. Dari sini karya-karya yang dihasilkan
hanyalah produk murahan, dimana perancangan dan pengeksekusiannya kurang
memperhatikan segi kualitasnya, yang terpenting di dalam benaknya
bagaimana produk ini laku keras dipasaran anak muda terlepas dari efek
bahaya dan tidaknya dari produk tersebut pada masyarakat, sehingga hasil
karya-karyanya tak ubahnya seperti produk sampah bertebaran dalam
lingkungan masyarakat yang memang menyenangi produk sampah tersebut
hingga masyarakatnya menjadi masyarakat sampah dibalik kemegahan
peradaban sampah dalam kacamata ideologi Pancasila.
Hasil Perencanaan program acara yang
ditayangkan oleh televisi, khususnya sinetron atau film televisi
hanyalah mengangkat tentang keglamoran hidup dengan pernik-pernik
peradaban modern akibat salah mempersepsikan makna modernissasi akibat
kegoblokkan dan ketololan masyarakat itu sendiri dalam menyikapi
hadirnya arus globalisasi. konsep rancangan program acara hanyalah
berorientasi pada pola hidup pragmatis, konsumtif, hidonis, dengan
mengupas permasalahan kehidupan dengan menonjolkan visualisasinya ke
arah mengumbar adegan intimidasi, cucuran air mata, persekongkolan,
perselingkuhan, percintaan, dimana pesan moral di balik tayangan
tersebut sangat membahayakan dampaknya pada psikologi generasi negeri
ini yang rawan dengan peniruan untuk kemudian disebrluaskan kepada
teman-temannya dan menjdi jatidiri bangsa yang katanya lebih modern…
weee… itu kata siapa duuulll…?. Karya-karya sinetron dan film televisi
selama ini hanyalah sebagai produk komoditas dari industri televisi,
dimana penerapan ideologi media tak lepas dari nafas produksi
tayangannya itu, hingga pada akhirnya nanti produk itu cepat laku
dipasaran dan tanpa mempedulikan dengan misi sosialnya lagi. Konsep
cerita yang dihadirkan selalu minim dengan penggunaan daya nalar tinggi,
dimana nantinya sngat membantu sebagai misi pencerahan hidup
masyarakat, sehingga tayangan tersebut sangat diperlukan guna memberikan
rangsangan pemikiran yang nantinya bisa menimbulkan tumbuhnya sikap
moralitas pada kehidupan masyarakat ke arah lebih baik. Karena sebuah
film padasarnya ”Ia dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan,
merangsang pemikiran dan memberikan dorongan, namun juga dikawatirkan
menjerumuskan orang ke hal-hal yang negatif serta meruntuhkan
nilai-nilai moral dan tatanan hidup yang ada di tengah masyarakat”
(Marselli, 1996). Namun pada kenyataannya rekaman realitas media telah
menunjukkan bertolak belakang dari seharusnya, bahwa dialog-dialog
skenario cerita sinetron televisi kebanyakan didominasi dengan gaya
bahasa populer, dimana gaya bahasa hanya mengumbar masalah gaya hidup
semata dan lari dari bahasa kecerdasan dengan mengusung daya nalar
tinggi dalam pengeksikusiannya itu, karena dianggap akan mempersulit
dalam memproduksi serta tidak laku di pasaran. Visualisasi dalam bahasa
gambarpun kadang menimbulkan kejanggalan. Cerita seorang direktur suatu
perusahaan, tetapi minim di visualisasikan tentang perannya dalam
mengendalikan perusahaannya di kantor. Bagaimana mungkin usaha makanan
kecil semacam donat memilki rumah mewah dan bermobil BMW serta banyaknya
kejanggalan visualisasi cerita beredar luas dari menit ke menit
sehingga tanpa sadar telah menciptakan pembohongan publik di masyarakat.
Scene-scene yang divisualisasikan hanyalah kegiatan-kegiatan hura-hura,
ngerumpi, dugem, jalan-jalan dan acara belanja di plaza atau mall,
jarang ditemui scene-scene dengan karakter berceritakan suatu
pembelajaran di kampus, misalnya suasana belajar di kelas dengan
diselingi perdebatan antar mahasiswa, dosen memberikan menjelaskan
perkuliahan secara detil tentang suatu matakuliah, kegiatan praktikum di
laboratorium, diskusi antar mahasiswa dalam forum seminar atau kegiatan
Badan Eksekutif Mahasiswalainnya. Para kreator bidang audio visual kita
sebagian besar hanyalah budak-budak kapitalis dengan karya kejar tayang
dan berkonsep ala kadarnya di tengah situasi dan kondisi masyarakat
yang dikendlikan oleh para pemegang kekuasaan beorientasi pada ideologi
kapitalisme.
Dalam konteks perfilman, Film
dinilai selain sebagai alat untuk mencurahkan ekspresi bagi penciptanya,
juga dianggap sebagai alat komunikator efektif dalam mempengaruhi
perilaku masyarakat. ”Hal inilah tak terpikirkan sebagian besar orang,
bahwa film dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang
pemikiran dan memberikan dorongan pada para pemirsanya, namun juga
dikhawatirkan menjerumuskan orang ke hal-hal yang negatif serta
meruntuhkan nilai-nilai moral dan tatanan hidup yang ada di tengah
masyarakat” (Marselli, 1996). Sekian jauh perfilman nasional Indonesia
tumbuh dan berkembang, namun kenyataanya perkembangan perfilman nasional
kita tidak mampu sebagai sarana pencerahan hidup masyarakat, malah
sebaliknya keberadaan film nasional kita dianggap sebagai provokator
atas keruntuhan tatanan moral semakin dalam di tengah masyarakat,
bahkan perfilman nasional kita dianggap sebagai penyebar kemesuman
dibalik gambar-gambar seronok, pengumbaran aura, pakian minim dengan
pengadegan fullgar telah beredar luas di pampang dalam poster raksasa
berdiri tegak dipinggir jalan diantara jutaan masyarakat Indonesia di
setiap kota, sampai-sampai pengendara motor lengah dikarenakan matanya
melotot terhadap sensasi gambar tersebut dan akhirnya menabrak orang
jualan dawet hingga berantakan…lha gimana tu…mata…?. Inilah karya anak
negeri ini dengan pikiran begitu dangkal telah menghadirkan kemaksiatan
dalam penciptaan sebuah film hingga menghsilkan karya murahan, dan hanya
sekedar meramaikan hiburan di kalangan masysrakat yang memang haus akan
hiburan. Mudahnya ijin produksi film di negeri ini, dengn alasan
memberikan semangat atas bangkitnya perfilman nasional. Tetapi perlu
diingat apa manfaatnya jika film yang diproduksi itu menyebarkan
kemesuman dalam produksi film, hingga nantinya akan mempengaruhi
psikologi masyarakat ke arah negatif. Untuk apa karya film itu ada jika
nantinya hanya sebagai penyebaran virus hingga mengantarkan masyarakat
Indonesia ke pintu gerbang era peradaban setannn… Alasss… !!!. Bangsa
ini sedang mengalami sakit dalam taraf stadiun tinggi, perlu obat
penyembuh berupa tayangan-tayangan dengan mengusung perangsangan
pemikiran, mengandung dorongan semangat kebangsaan, pengaktualisasian
nilai-nilai moral tinggi, penerapan nilai-nilai sosial masyarakat,
pengaplikasian teknologi canggih agar bangsa ini bisa bangkit kembali
dari sakitnya. Lihatlah judul karya-karya film anak negeri ini telah
didominasi konsep film penyesatan seperti Tali Pocong Perawan, Pocong
Kamar Sebelah, Pocong Goyang Pinggul, Kuntil Anak beranak, Rintihan
Kuntil anak Perawan, Beranak Dalam Kubur, Diperkosa Setan, Suster
ngesot, suster keramas, serta yang lainnya, mungkin beberapa hari
kedepan akan lahir lagi Garukan Nikmat Suster Gatel… weee…. !!!. Dari
judulnya saja kita sudak muak… membacanya… apalagi melihatnya… Ueeekkkk…
!!!.
Karena peredaran film kemesuman
dibalik keklenikan tidak mengalami kesulitan dalam memproduksinya dan
pengedarannya di masyarakat, maka produser bersama crewnya berencana
mendatangkan bintang-bintang film porno dunia untuk main di
Indonesia….weee…edan tenan kuwi…. Tetapi anehnya Pemerintah melalui
lembaga yang berwenang membiarkan saja ide yang super edan, gendeng,
kenthir dan goblok itu diproduksi dn diedarkan ke masyarakat dengan
lebel Lolos Sensor…!!!. Harusnya sineas-sineas itu bercermin diri…
mengapa kita tidak mencontoh kesuksesan film-film Amerika yang laku
keras di pasaran, harusnya kita belajar dari kesuksesan bangsa lain…bila
perlu tenaga profesional dikirim ke Amerika untuk belajar dan ilmunya
bisa untuk membangun perfilman Indonesia ke arah lebih baik… bukan
mendatangkan bintangnya apalagi bintang porno… dasar otak goblok…
Lembaga Sensor Film Indonesia atas
nama pemerintahan seharusnya pekah terhadap fenomena ini, dan tidak
membiarkan para pengusaha lewat produksi film dengan cara seenaknya
sendiri hingga menimbulkan polemik berkepanjangan tanpa ada hasil. Pada
kenyataannya lembaga ini tidak mempunyai nyali besar untuk bertindak
tegas, atas permainan para industri film melalui beragam karyanya yang
semakin lama tindakannya mengarah pada penyesatan kehidupan masyarakat.
Lembaga Sensor Film Indonesia yang kita miliki diambang sangat
dilematis, peran lembaga ini di tengah tarik menarik antara pembuat film
dan kepentingan perkembagan hidup masyarakat. Disatu pihak melindungi
masyarakat terhadap ekses-ekses negatif dari pengaruh film dan dipihak
lain menjadi penghambat kreatifitas perkembangan produksi film.
Kepentingan masyarakat jauh lebih utama daripada melindungi segelintir
pemilik modal yang otaknya keblinger dalam memproduksi sebuah film, toh
hasilnya…Apa…?, malah meracuni dan menyesatkan kehidupan masyarakat.
* Keberadaan seniman besar sekali
terhadap terciptanya dan terwujudnya peradaban tersebut untuk
kepentingan masyarakat banyak. Segala macam bentuk hasil karya seni
maupun desain pada dasarnya adalah untuk mewujudkan peradaban tersebut
dapat dinikmati oleh masyarakat hingga menciptakan kehidupan yang lebih
baik. Adalah seniman atau desainer atau sineas yang otaknya keblinger
tujuh turunan karena ditekan oleh produser cupet berpikiran mesum dan
goblok untuk menciptakan karya-karya film murahan yang pada intinya
mendorong masyarakat ke dalam pintu kesesatan dan memalukan nama negara
di mata dunia International *
3. Hadirnya Sikap Seniman yang Menyuarakan Kepentingan Sosial
Pada kenyataannya menurut beberapa teori
tentang pembuatan sebuah karya drama televisi ataupun film, konsep
pembuatan cerita tidaklah selalu harus menggunakan wanita cantik, pria
yang tampan dengan segala macam pernik-pernik kemewahan hidup dengan
mempolitisir tentang kehidupan glamor serta cerita perselingkuhan,
perebutan harta warisan, penistaan derajat kedudukan status sosial,
perceraian, pergaulan negatif dari kehidupan remaja dan percintaan yang
tidak dilandasi dengan konstruksi realitas kehidupan yang berimbang, di
mana penonton dibayangkan dengan mimpi-mimpi yang sulit dibayangkan
denga kehidupan realitas sebenarnya. Penggambaran dalam eksekusinya
tidak berdasar terkadang menyimpan pesan negatif, di mana nantinya rawan
terhadap peniruan masyarakat yang kurang kuat akan prinsip hidupnya,
sehingga rawan akan pengaruh dari tayangan tersebut. Suatu kesuksesan
besar adalah konsep lain dengan mengusung tema sosial dari masyarakat
betawi seperti yang dilakukan oleh ”Karnos” Productions dengan judul
Sinetron ”Si Doel Anak Sekolahan” merupakan suatu tema penentangan arus
dari tema trend yang telah digandrungi oleh masyarakat. Ternyata apa
yang dilakukan oleh seorang Rano Karno itu, di luar dugaan bahwa tema
tersebut mengalami kesuksesan besar dan mendapatkan rating tinggi
termasuk mengalakan rating sinetron sebelumnya. Hal ini membuktikan
bahwa tidak selamanya tema alternatif yang mengusung di luar tema
ngetrend, tidak bisa menenbus suatu keberhasilan merebut hati pemirsa.
Kalau di kaji Sinetron ”Si Doel Anak Sekolahan” merupakan tema yang
sederhana dengan mengusung kehidupan kesederhanaan hidup dalam ruang
lingkup gemerlapnya kehidupan metropolitan dimana perilaku didominasi
dari cerminan hidup kemewahan. Tema yang diusung juga mencerminkan suatu
realitas kehidupan di tengah masyarakat dengan pemeran yang berfariatif
dan keragaman latar belakang status sosial serta banyak menanamkan
nilai-nilai positif dari seorang aktor yang bernama ”Si Doel” itu.
Hebatnya lagi kesuksesan dari film tersebut mengantarkan seorang Rano
Karno yang cerdas serta santun dalam cerita itu ke Wakil Bupati
Tangerang yang sebenarnya hingga sekarang.
Konsep tema lain juga menentang arus di
antaranya ide dari aktor dan sutradara kondang seorang Dedi Mizwar dalam
sinetron ”Para Pencari Tuhan” yang diproduksi d Sinema milik dan
sekaligus sebagai producer dalam pembuatan sinetron tersebut. Langkah
Dedy Mizwar telah mematahkan dari para producer dan sekaligus crew
produksi sinetron glamor yang menguasai jam penayangan itu telah
berbalik kepada sinetron Para Pencari Tuhan. Jeri payah dari Dedy Mizwar
dalam menciptakan sinetron dengan mengusung kesederhanaan hidup serta
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu, telah sukses besar dalam
merebut pasar dan menyentuh hati pemirsa Indonesia bahkan mendapat
penghargaan tertinggi atas nilai-nilai yang tertanam dalam cerita
tersebut, seperti yang telah diberikan oleh majelis Ulama Indonesia atas
cerita Sinetron tersebut. Konsep inilah membuktikan bahawa konsep
alternatif mampu menyaingi konsep trend yang menjadi acuan
sebelumnya. Demikian juga karya-karya film yang berhasil menarik hati
pemirsa tanpa menjual keglamoran hidup dan bumbu pornografi ke dalam
karyanya adalah bukti, bahwa negeri ini masih banyak insan yang mau
mempunyai Idealisme tinggi dan sikap kritis terhadap perubahan dari
realitas kehidupan di masyarakat dimana pola hidup sudah terkontiminasi
faham-faham ideologi dari dunia barat. Apa yang mereka suguhkan adalah
sebuah karya dengan bermodalkan pada penalaran tinggi untuk mengeksekusi
dari ide-ide penuh dengan argumentasi dalam perancangannya hingga
melahirkan sebuah karya film yang dapat mendorong pemikiran pemirsa
untuk melakukan hal sama demi kemanusia. Karya-karya inilah yang tidak
membikin malu Indonesia di mata dunia International seperti Alangkah
Lucunya Negeri Ini, Nagabonar Jadi 2, Gie, Merah Putih, Laskar Pelangi,
Marsinah dan sebagainya. Dari keterangan judul di atas membuktikan bahwa
tidak semua film yang tidak mengumbar aura dengan menyajikan adegan
kemesuman akan kehilangan penontonnya dan tidak bisa membaca pasar.
Pernyataan inilah yang dibantah dengan oleh sineas idealis seperti
Deddy Mizwar, Riri Reza, Slamet Rahardjo dan sutradara muda lainnya
dengan pikiran dan keidealisannya.
* Karya-karya membanggakan baik
acara program televisi maupun film dengan konsep dan pengeksekusian
memerlukan daya nalar tinggi dari pencipta, crew produksi serta
producernya telah memberikan hiburan dengan warna tersendiri sekaligus
sebagai sarana pencerahan hidup masyarakat agar timbul rangsangan
pemikiran positif hingga nantinya memacu daya kreatifitas masyarakat
untuk membangun negeri ini dari keterpurukan. Karya-karya anak bangsa
seperti inilah yang tidak bikin malu negara Indonesia di hadapan dunia
International *
Penutup
Kekuatan arus globalisasi yang bergulir
di tengah masyarakat hingga saat ini dengan segala dampaknya, akan terus
mengalir bagai air terjun ke tempat yang lebih rendah tanpa ada arahan
dari siapapun, dan semua berjalan sebagaimana mestinya. Demikian juga
dengan peradaban dari luar akan terus hadir bersamaan dengan datangnya
arus globalisasi beserta dampaknya itu, akan selalu mengacam kebudayaan
lokal melalui jejaring cyber multimedia digital menembus jiwa-jiwa
penggunanya dan akan terus menyerang siapa saja mangsanya entah
anak-anak, remaja maupun orang tua sekaligus. Kita tidak menutup mata
atas datangnya kebudayaan luar hadir di tengah-tengah kita, namun perlu
adanya pengkajian secara mendalam tentang baik dan buruknya, hal
tersebut dikarenakan ideologi negara yang membedakannya. Kemajuan
teknologi dari dunia barat itu jauh lebih baik kita jadikan contoh untuk
ditiru dan dipelajari guna membanguan negeri ini dari segala macam
disiplin ilmu, karena teknologi kita jauh lebih baik dari mereka,
mengapa kita harus malu…!!!. Kesuksesan suatu bangsa dalam membangun
peradabannya adalah belajar dari kesuksesan bangsa lain dalam membangun
peradabannya. Ada suatu istilah bernama “Local Genius” yaitu kemampuan
suatu bangsa untuk menerima kebudayaan bangsa lain, kemudian disesuaikan
dengan kepribadian bangsa itu sendiri hingga melahirkan suatu
kebudayaan baru tanpa mengurangi jatidiri bangsa itu sendiri. Inilah
yang perlu kita jadikan pegangan kuat dalam mengakulturasi kebudayaan
luar dengan kebudayaan kita hingga melahirkan kebudayaan baru tanpa
pengurangi dari jatidir bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai jiwa
raganya itu.
Persoalan besar yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia hingga sekarang ini adalah kurangnya pembudayaan dan
aktualisasi nilai-nilai Pancsila yang tidak berjalan secara efektif dan
mendasar. Karena itulah Pancasila tidak dapat muncul keberadaannya dalam
ruang dan perilaku yang nyata dari setiap warga negara negeri ini.
Keberadaan Pancasila selama ini hadir hanyalah sebagai tema dan semboyan
semata-mata dalam setiap perilaku kehidupan masyarakat. Bagaimana
mungkin kita mampu mewujudkan atau melahirkan dan mengembangkan semangat
kebangsaan dan pengagungngan Ideologi bangsa dengan baik, jika
aktualisasi nilai-nilai Pancasila itu dangkal dan kandas oleh persepsi
setiap warga negara negeri ini sendiri ?. Kemunculan semangat itu akan
hadir dengan sendirinya, selama nilai-nilai Pancasila itu dimaknai
secara mendalam dan menyerap dalam jiwa dan raga serta dilaksanakan
secara konsisten oleh setiap warga negara Indonesia. Suatu contoh
kongkrit adalah semangat kebangsaan yang tinggi di tanam dalam jiwa
setiap prajurit TNI, termasuk Ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila
yang selalu ada dalam jiwa dan raganya bahkan setiap prajurit TNI rela
mati demi untuknya. Seandainya setiap warga negara mempunyai jiwa
seperti ini, niscaya Indonesia tidak akan jadi begini keadaannya.
Kalau di kaji dengan pikiran jernih dan
intelektualitas tinggi, Pancasila tidak perlu diragukan lagi
esistensinya. Para pendahulu pendiri bangsa ini telah bertahun tahun
mengujinya, kalaupun selama ini tidak bisa menunjukkan hasilnya itu
dikarenakan orang yang mengelolahnya tidak mampu mengaktualisasikan
secara benar, dan bukan Pancasilanya yang dipersalahkan. Pragdigma
masyarakat selama ini dalam menyikapi Pancasila selalu bersikap sinis
terhadapnya, ini harus diluruskan dan di arahkan ke jalan yang benar,
sehingga masyarakat bisa menghayati dan mengamalkannya secara konsisten
agar bangsa ini bisa bangkit kembali dari keterpurukan. Sejalan dengan
hal itu maka perlu adanya upaya pembangunan jatidiri bangsa pada setiap
warga negara Indonesia, karena dengan memiliki jatidiri bangsa
berlandaskan Pancasila, maka kemandirian suatu bangsa akan tercipta
dengan sendirinya.
Demikian juga tayangan televisi dengan
pengaruhnya sangat dahsyat terhadap psikologi masyarakat, karena media
yang satu ini selain murah meriah, namu dampaknya, dapat mempengaruhi
sugesti masyarakat hingga apa yang mereka terima jadi bahan renungan dan
kajian untuk berbuat sesuatu dikemudian hari sampai pada suatu saat
akan di jadikan jatidiri. Tidak semua tayangan dari televisi adalah
cerminan suatu realitas kehidupan kongkrit, namun kebanyakkan adalah
hasil manipulasi dari beragam kepentingan dari kelas-kelas dominan
negeri ini. Banyak segala aktifitas yang kita perbuat entah itu
kebaikkan atau keburukkan bersumber dari apa yang pernah ditonton lewat
televisi.
Dalam aspek perfilman, Pemerintah
melalui Badan Sensor Film harus bertindak tegas dan larang segala film
yang berorientasi pada pengumbaran nafsu lewat sensasi gambar-gambar
fullgar dalam selipan film keklenikan yang berakibat apada penyesatan
masyarakat. Kalau tidak ada ketegasan maka merka akan terus berbuat
lebih parah lagi hingga memalukan bangsa ke tingkat international dengan
menyajikan film rendahan itu. Demikian juga dengan karya film yang
mengangkat masalah sosial berupa kritikan pada penyelenggara negara
jangan dianggap sebagai musuh, oleh karena itu kita semua haruslah sadar
dan jernih melihatnya, sesuatu yang terlontar dalam rana publik dan
beruba menjadi wacana, bukanlah dianggap sebagai lawan yang merongrong
kewibawaan pemerintah atau institusi lainnya, hingga berdampak pada
saling menyerang antara kepentinngan satu dengan kepentingan lainnya.
Keberadaan mereka dalam menyuarakan kepentingan sosial masyarakat
merupakan kecintaan dia terhadap nasib bangsa Indonesia kedepan.
Sudah menjadi kewajiban kita bersama,
khususnya kalangan yang berpendidikan tinggi saling mengingatkan, bahwa
tak semua tayangan yang tercermin di dalam televisi mupun film serta
gambar-gambar periklanan yang beredar di tengah masyarakat mempunyai
nilai kebaikan, bahkan ada isi tayangan baik televisi maupun film
tersebut dapat menyesatkan kehidupan masyarakat dan hal itu dibiarkan
oleh yang berwenang hingga menimbulkan polemik berkepanjangan. Kini
tergantung kita semua bagaimana menyikapinya. Diperlukan tindakan tegas
oleh Komisi Penyiran Indonesia dan Lembaga Sensor Film Indonesia selaku
penjaga gawang kepada para stasiun televisi dan industri film, jika
terbukti melanggar aturan yang telah ditentukan dan disepakati bersama,
dampak negatif dari peredaran siaran televisi dan film dapat ditekan
seminimal munkin.
Daftar Pustaka :
Burton, Graeme. 2008. Media dan Budaya Populer. Penyadur: Alfathri Adlin. Yogyakarta: Jalasutra.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Ralita Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: MU:3.
Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Toko Buku Kompas Media Nusantara.
Rahardi, Kunjana. 2000. Renik-Renik Perabdban. Yogyakarta: Duta Wacana Univercity Press.
Storey, Jonh. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Penyunting: Dede Nurdin. Yogyakarta: Qalam.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Surbakti, EB. 2002. Awas tayangan Televisi: Tayangan Misteri dan Kekerasan Mengancam Anak Anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Riswandi. 2009. Dasar-Dasar Penyiaran. Jakarta: Graha Ilmu.
Mulyana, Dedi, Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Arifin, Eva. 2010. Broadcasting: To Be Broadcaster.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Marlin, Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion.Canada: Broadview Press.
Ellul, Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books.
Naya Sujana. I Nyoman dan Lasmono Askandar (ed). 2005. Jatidiri Bangsa Indonesia. Surabaya: DHD 45 Jawa Timur.
Panuju, Redi. 2011. Studi Politik Oposisi dan Demokrasi. Yogyakarta : Interprebook.
Djoko Damono, Sapardi. 2009. Kebudayaan (Populer) disekitar Kita. Jakarta : Kompleks Dosen UI.
Dale, Edgarv,. 1991, How to film appreciated Motion Pictures,New York, Arno Press Fourt edition.
Monaco, James., 1981, How to Read a Film, New York,Oxford University Press, revised edition
Sumarno, Marselli., 1996, Apresiasi Film,Jakarta, Grasindo
Effendy, Heru., 2002, Mari Membuat Film,Jakarta, Konfiden
Atmaja, Tony., Makalah Video and special effect for broadcasting in digital era, Jakarta 2002
Baksin, Askurifal., 2003, Membuat Film Idie itu gampang,Bandung, Kartasis
Wheeler, Fleming., 1980, Art Since Mid Century, TheVendeme Press,New York, Rosenberf
More Article Di Sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar